Cerita Inspiratif dari Koko Dewa.... kali pertama baca dari link hasil Tweeps dan FB.  Berikut tulisannya....
**********************************************************************************
“Aku menemukan sisi lain  dari keindahan dunia ini saat mengenalmu dan ketika aku kehilangan  dirimu, engkau menjadi inspirasi bagiku.”
Dewa Klasik Alexander
Aku meneguk sisa es teh tawar yang masih  tersisa di gelasku. Ketika aku masih menikmatinya ekor mataku menangkap  sosok anak laki-laki yang memperhatikanku. Matanya menatapku. Sebuah  tatapan yang menusuk ke dalam hatiku. Tatapan yang penuh iba. Aku  meletakkan gelas yang hanya menyisakan  es batu yang masih membeku.
“Bu, anak kecil yang duduk di pinggir  jalan itu siapa ya?” tanyaku penasaran kepada pemilik warung sambil  memandang anak laki-laki tersebut.
“Ow… Duh, kasihan tuh anak, bang!”
“Kasihan kenapa, bu?”
“Sudah seminggu bapanya meninggal  gara-gara sakit. Ibunya sih meninggal pas melahirkan dia. Dia ngga punya  keluarga lagi. Sekarang sih dia tidur di mana saja karena di usir dari  kontrakan.”
“Begitu ya, bu!”
Selesai membayar es teh tawar yang aku  pesan. Aku menghampiri anak laki-laki yang hanya mengenakan pakaian  kumal tanpa alas kaki. Entah sudah berapa lama dia tidak mengganti  pakaiannya.
Semakin aku mendekatinya semakin jelas  kelihatan kalau tubuhnya tidak terurus. Dia terus menatapku sampai aku  duduk di sampingnya.
“Nama kamu siapa dek?” tanyaku dengan nada bersahabat sambil mengukir sebuah senyuman.
“Aku lapar, kak!” ucapnya sambil memegang perutnya.
Aku mencoba mengingat uang yang masih tersisa di saku dan dompetku. Hanya ada selembar sepuluh ribuan dan dua koin lima ratus.
“Nanti kakak belikan kamu makanan. Tapi nama kamu siapa?” Sekali lagi aku menanyakan namanya.
“Benar kak? Serius? Kakak ngga bohongkan?”
“Iya. Ngapain bohong? Tapi nama kamu siapa?”
Aku melihat senyuman manisnya yang  memancarkan barisan giginya yang tersusun rapi tapi berwarna kuning  karena tidak pernah disikat.
“Namaku Samuel Lie. Dipanggilnya Samuel. Kalau kakak?”
“Dewantara, panggil saja kak Tara!”
Dia mengulurkan tangannya lalu kusambut.  Sebuah jabatan salam perkenalan yang hangat. Terasa kalau tangannya  penuh dengan debu ketika tanganku bersentuhan dengan tangan munggilnya.  Kukunya yang panjang menyembunyikan daki berwarna hitam di setiap kuku  jarinya.
“Yuk, kita makan.”
“Di mana kak?”
“Tuh ada warteg!” ucapku sambil menunjuk sebuah warteg.
Dengan langkah semangat Samuel memegang tanganku dan menuntunku ke warteg tersebut. Wajah murungnya berubah menjadi ceria.
Aku hanya memandangnya dengan mata yang  hampir copot. Lahap sekali anak ini makan. Kurang dari lima menit,  makanan yang aku pesan sudah tidak tersisa lagi. Sampai menjilat jarinya  segala.
“Terima kasih ya, kak!” ucapnya dengan malu-malu.
“Sama-sama,” balasku terharu meski aku tahu jatah makan malamku sudah tidak ada lagi.
*****
Aku manatap Samuel yang tidur  terlelap yang hanya beralaskan koran dan tumpukan baju di kosku yang  hanya berukuran 2×1,5 meter. Masih terngiang pembicaraan antara aku  dengan Samuel sebelum dia terlelap.
“Aku panggil kakak dengan sebutan Ko Dewa ya?”
Aku menatapnya dengan keheranan di  antara terang yang dipancarkan lilin kecil. Anehkan? Kos yang aku  tinggali hanya seratus ribu sebulan. Tanpa listrik dan tanpa kamar  mandi. Jadi kalau mau mandi harus ke WC umum. Itu pun harus bayar. Suara  kereta api yang lewat persis di depan kosku sudah menjadi musik  tersendiri bagiku. Kata orang ada harga, ada mutu. Seperti itulah  gambaran kos di pinggiran rel kereta api.
“Dulu aku punya koko.”
“Trus koko kamu di mana sekarang?”
Hening. Sunyi. Bisu.
“Koko… Koko meninggal karena sakit sama seperti papa. Namanya Ko Daniel.”
Kembali kesunyian mencekam.
“Ngga apa-apakan kalau aku manggil kakak dengan panggilan Ko Dewa?”
Aku berusaha untuk tersenyum, “panggil saja Ko Tara, ya?”
“Oklah kalau begitu.”
Aku tertawa dengan tingkah lakunya yang masih polos.
Karena lelah Samuel langsung tidur  terlelap. Sementara aku berusaha menutup mataku diantara suara perutku  yang berbunyi karena kelaparan.
*****
“Koko pengen punya toko sendiri,”  celotehku ketika mengajaknya ke tempatku bekerja. “Ngga perlu besar,  yang penting milik sendiri.”
“Kenapa ngga jadi koki saja?”
“Koki?”
“Iya. Bisa makan sepuasnya. Kita makan ya ko?”
“Kamu lapar?”
“Lapar setengah mati.”
“Tapi uang koko tinggal seribu rupiah. Cuma bisa beli gorengan.”
Samuel hanya menatapku.
“Kamu disini ya, koko beliin kamu gorengan dulu.”
“Iya ko.”
Aku berlari untuk membeli dua potong  pisang goreng. Begitu kembali, mata Samuel berbinar-binar ketika  menerima dua potong pisang goreng.
“Ini untuk aku dan ini untuk koko,” ucapnya sambil menyerahkan sepotong pisang goreng.
“Untuk kamu saja ya!”
“Ngga mau! Koko kan belum makan apa-apa dari semalam?”
Dengan berat hati aku memakannya juga.
Setelah itu aku langsung melakukan  tugasku ketika tiba di toko. Membuka toko, lalu membersihkannya,  melayani pembeli dan kemudian menutupnya. Gajinya sih cukup untuk bayar  kos, makan, kebutuhan sehari-hari dan biaya transportasi. Tapi beruntung  Ko Willy, si empunya toko berbaik hati mengizinkan aku memakai  komputernya untuk jualan online. Aku menjual tas yang ada di toko Ko  Willy di blogku yang kuberi .  Keuntungannya memang sedikit. Tapi aku percaya, setia dalam hal yang  kecil maka Tuhan akan mempercayakan hal yang lebih besar lagi.
“Nanti kalau ada yang beli tas sama koko, nanti koko traktir kamu di KFC.”
“Wow! Samuel doain semoga laku. AMIN”
Aku hanya tersenyum. Apa lagi melihat tubuhnya sudah bersih. Meski baju yang dikenakannya kebesaran.
Aku belum bisa membelikan Samuel baju sehinga mau ngga mau dia harus memakai pakaianku.
*****
“Kamu sikat gigi pakai garam ya?”
Samuel menatapku dengan kebingungan.
“Odolnya habis. Koko belum bisa beli.”
“Ow.”
“Begini caranya…” ucapku lalu mengambil garam dengan telunjuk tanganku dan menggosokkannya ke gigiku.
“Asin ko!”
Aku tersenyum meski hatiku perih.
“Yah iyalah masa manis.”
*****
“Badanmu panas,” keluhku bingung ketika tanpa sengaja menyentuh tubuhnya. “Kamu sakit ya?”
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut munggil Samuel yang merah. Dahinya berkerut dan bibirnya mendesah menahan sakit.
Sementara di luar kos, gerimis mulai turun.
Tubuh Samuel kedinginan. Tidak ada jaket  atau selimut. Aku berusaha menghangatkan tubuhnya dengan menempelkan  beberapa baju ke seluruh  tubuhnya.
“Kita ke dokter ya?” usulku, meski aku  sendiri tidak yakin mendapat pertolongan tanpa uang yang cukup. Orang  miskin dilarang sakit! Kalau berobat harus pinjam sana-sini buat biaya  berobat. Setelah sembuh kerja keras lagi buat bayar hutang.
Aku semakin bingung ketika Samuel tidak menjawab. Dia hanya mengerang dengan mata tertutup rapat.
Aku menggendong tubuh Samuel dan membawanya ke rumah sakit terdekat.  Entah kenapa aku takut kehilangan Samuel. Meski baru dua minggu  mengenalnya. Rasanya seperti terjalin ikatan batin yang kuat diantara  kami.
Sehari tanpa ocehan Samuel rasanya ada yang aneh. Pertanyaan-pertanyaan  sering terlontar dari mulutnya hingga kadang aku kewalahan menjawabnya.
“Woi, mau ke mana loe?” sergah satpam rumah sakit ketika melihatku. “Enak saja main masuk!”
“Adik saya sakit, pak?”
Satpam tersebut memandangku dan Samuel  berkali-kali. Mungkin dia bingung, aku yang pribumi memiliki adik yang  keturunan Tionghoa.
“Bawa saja ke rumah sakit lain. Di sini bayarnya mahal. Ngga terima pasien kayak begini!”
Ya Tuhan? Apa rumah sakit ini hanya  menerima pasien yang menaiki mobil mewah yang bisa di rawat di sini?  Sementara orang miskin sepertiku tidak diterima?
Ketika satpam tersebut mengarahkan mobil  mewah untuk mendapatkan parkir aku langsung menerobos masuk. Aku tetap  nekat untuk masuk. Apa pun akan aku lakukan untuk Samuel. Satpam  tersebut hanya pasrah dengan sikapku. Aku tidak menghiraukan tatapan  orang yang melihatku basah kuyup tanpa alas kaki. Sandal nyang kupakai  tadi putus. Mungkin sudah waktunya  untuk diganti.
Aku tidak menghiraukan tatapan orang yang memandangku. Dinginnya AC menusuk hingga tulang sum-sumku.
*****
Empat hari kemudian.
“Hemofilia?” tanyaku kaget.
“Penyakit gangguan pembekuan darah dan  diturunkan oleh melalui kromosn X,” ucap dokter muda yang cantik  perawakannya memberiku penjelasan.
Aku menggagumi kecantikannya.
“Tapi selama ini tidak ada keanehan yang  saya temui, seperti pendarahan yang terus menerus atau terjadi benturan  pada tubuhnya yang mengakibatkan kebiru-biruan. Kalau boleh tahu,  Samuel mengidap hemofilia A atau Hemofilia B, dok?”
“Begitu ya? Hemofilia B.”
Aku terdiam.
“Tidak hanya itu, hasil pemeriksaan menyatakan kalau dia juga positif HIV.”
Aku berdiri seperti patung.  Samuel yang  masih berumur enam tahun mengidap HIV? Ayah atau ibunyakah yang  menularkan? Atau karena dia pernah menjalani transfusi darah dan  ternyata Human Immunodeficiency Virus lolos dalam transfusi darah yang  dijalanninya.
Kini aku tahu, kenapa tidak ada satu pun  keluarganya yang mau menampungnya yang sebatang kara. Mungkin ayahnya  meninggal karena HIV juga. Entahlah.
Aku menatap wajah pucat Samuel yang  terbaring lemah dengan infus yang terpasang ditubuhnya. Selama Samuel di  rawat tidak ada satu pun kata keluh kesah yang keluar dari mulutnya.
Masih jelas tergambar di memoriku pembicaraan kami berdua ketika  mengajaknya makan di KFC di salah satu mal di bilangan Jakarta Barat.
“Samuel pengen kado natal!”  Ungkap Samuel tiba-tiba begitu melihat nuansa natal yang menghiasi setiap penjuru mal.
“Mau kado apa?”
“Cuma pengen boneka Tazmania.”
“Nanti koko belikan kalau koko sudah  punya duit. Beberapa harri ini belum ada tas yang laku. Nanti koko  belikan boneka Tazmania yang gede.”
“Yang kecil juga ngga apa-apa kok.”
“Tapi jangan lupa berdoa ya.”
“So, pasti!”
Malamnya sebelum beranjak tidur, kembali dia mengutarakan keinginannya.
“Koko pasti belikan buat kamu. Berharap sebelum natal banyak tas yang laku.”
“Amin!” teriaknya memecah kesunyian malam.
Hatiku miris, seharian aku dan Samuel hanya minum air kran. Tidak ada duit yang tersisa.
“Maafkan koko, Samuel,” bisikku dalam hati sambil mengusap kepalanya.
Menit berikutnya.
Dia mengajakku berdoa. Biasanya aku yang mengajaknya.
“Tuhan… Berkati Ko Tara ya. Berkati pekerjaannya dan usaha on…”
“Online.” timpalku yang mengetahuinya kesulitan menyebut kata tersebut.
“Usaha onlinenya. Berkati juga bloknya.”
Aku tersenyum ketika dia menyebut kata blog dengak pemakaian huruf K dibelakangnya.
“Nama blognya apa ko?”
“Kamarsolusi dot com,” ucapku dengan perlahan-lahan.”
“Berkati kamarsolusi dot kom ya Tuhan. Biar banyak orang yang diberkati.”
Aku terharu. Aku meneteskan air mataku.
*****
“Ko, aku mau pulang saja!”
“Kenapa sayang? Di sinikan enak? Ngga kayak di kos koko.”
“Tapi aku kasihan koko harus berhutang untuk bayar semuanya.”
Diam. Sesak.
“Kamu jangan pikirkan itu ya, sayang. Tuhan pasti cukupkan semuanya.”
Tidak ada pilihan selain meminjam uang  dengan Ko Willy dengan jaminan gajiku di potong setengah dari seharusnya  aku terima setiap bulan.
Sebatang kara seperti ini tidak bisa  berharap pertolongan kepada keluarga. Ah, betapa indahnya kalau masih  memiliki keluarga. Teman? Ini Jakarta. Uang ngga jatuh dari pohon kayak  daun kering. Siapa yang mau memberikan pinjaman kepadaku tanpa jaminan  apa-apa yang bisa disita kalau tidak mampu melunasi hutang yang ada?  Memberikan pinjaman ke keluarga sendiri saja masih pakai  hitung-hitungan. Kalau mau nyumbang harus di ekspos. Berharap kepada  manusia memang sering mengecewakan.
“Kamu harus di rawat di sini supaya cepat sembuh.”
“Ko…. Maafkan aku.”
“Kenapa harus minta maaf?”
“Aku sudah merepotkan koko.”
Aku menggenggam tangannya. “Kamu tidak merepotkan kok. Percayalah! Koko malah senang bisa berkorban buat kamu.”
*****
Segala macam usaha telah di coba oleh  tim dokter yang menangani Samuel. Sudah dua minggu terakhir ini berbagai  obat pun silih berganti dimasukkan ke dalam tubuhnya.
Setiap hari berjam-jam aku menemaninya  setelah pulang dari jaga toko. Mengobrol, bergurau atau kadang-kadang  berdongeng untuknya.
“Ko, apa artinya meninggal dunia?”
Pertanyaan yang menghentakkan diriku  yang lelah dan lapar. HIV sudah memorak-porandakan seluruh sistem  pertahanan tubuh Samuel. Infeksi yang tidak terlalu berat pun dapat  menimbulkan penyakit yang fatal.
“Artinya, kamu akan suatu tempat yang jauh. Tempat di mana kamu berasal.”
“Perginya sendirian?” tanyanya lemah.
Mataku berkaca-kaca. Namun aku mencoba untuk menahan agar air mata itu tidak jatuh.
“Sendirian. Tapi kamu jangan takut.”
“Kalau aku meninggal dunia, siapa yang akan menemani koko?”
Akhirnya air mataku juga jatuh. Diantara penderitaannya dia masih memikirkanku.
“Aku tahu, koko sering ngga makan biar aku kenyang. Koko sering jalan  kaki pulang pergi ke toko biar bisa belikan aku sesuatu setiap hari.  Nanti di sana, siapa yang motongin kuku Samuel?” ucapnya sambil  meneteskan air matanya.
Aku memeluknya.
“Kamu ngga usah mikirin koko ya, sayang!  Tuhan pasti menjaga koko.”
“Nanti kalau aku sudah besar dan punya  uang yang banyak. Aku mau belikan koko sebuah toko. Biar koko ngga usah  kerja lagi. Trus belikan koko rumah dan mobil, biar kalau hujan bisa  tetap tidur enak dan tidak perlu lagi jalan kaki.”
Mulutku tertutup rapat. Bungkam. Tak ada  kata yang bisa melewati kerongkonganku. Di tengah rasa sakitnya, dia  masih menyimpan sebuah impian. Bukan keluh kesah karena sakit yang di  deranya.
******
Aku membawa sebuah boneka Tazmania kecil untuk Samuel. Samuel yang terbaring lemah memaksakan senyumannya.
“Ko…”
“Kenapa sayang?”
“Besok aku tidak bisa ikut koko natalan di gereja.”
“Ngga apa-apa.”
“Kamu suka ngga bonekanya?”
“Terima… kasih… ya, ko! Bonekanya bagus banget.”
“Maafkan koko ya. Koko ngga bisa belikan kamu boneka yang gede.”
“Ko, aku mau… kasih koko… kado.”
Aku tercengang!
“Aku cuma… bisa kasih lagu buat koko…”
Aku mendekatkan kupingku di wajah Samuel. Suaranya semakin pelan.
“Ku yakin saat Kau berfirman
Ku menang saat Kau bertindak
Hidupku hanya ditentukan oleh perkataanMu
Ku aman karna Kau menjaga
Ku kuat karna Kau menopang
Hidupku hanya ditentukan oleh kuasaMu
Ku kuat karna Kau menopang
Hidupku hanya ditentukan oleh kuasaMu
Bagi Tuhan tak ada yang mustahil
Bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin
MujizatNya disediakan bagiku
Ku diangkat dan dipulihkanNya”
Bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin
MujizatNya disediakan bagiku
Ku diangkat dan dipulihkanNya”
Air mataku terus jatuh ketika dengan susah payah dia menyelesaikan lagu  tersebut. Meski sudah tidak ada lagi harapan Samuel tetap percaya  mujizat itu ada.
“Selamat natal ya ko,” ucapnya dengan sangat pelan.
“Selamat natal juga sayang.”
“Ko…”
“Iya, sayang!”
“Koko bisa nyanyikan aku lagi malam kudus? Tapi pake bahasa inggris.”
Tanpa berpikir panjang aku memenuhi permintaan Samuel.
Silent night, holy night
All is calm and all is bright
Round yon virgin mother and child
Holy infant so tender and mild
Sleep in heavenly peace
Sleep in heavenly peace
Silent night, holy night
Shepherds quake at the sight
Glories stream from Heaven afar
Heavenly hosts sing halleluia
Christ the savior is born
Christ our savior is born
Silent night, holy night
Son of God
Love’s pure light
Radiant beams from thy holy face
With the dawn of redeeming grace
Jesus Lord at thy birth
Jesus Lord at thy birth
Halleluia!
Halleluia!
Halleluia!
Christ the savior is born
Tangan kanan Samuel mendekap boneka Tazmanianya sementara tangan kirinya menggengam tanganku.
Genggamannya makin lama makin lembut hingga tak ada lagi nadinya yang berdetak.
“Surga menantimu, pahlawan kecilku,” bisikku dikupingnya yang dingin.
*****
                                                                      TAMAT
                        ( NANTIKAN NOVELnya yang akan segera diterbitkan. AMIN)
Cerpen ini saya  dedikasikan untuk ODHA (orang dengan HIV/AIDS), percayalah kalian adalah  makluk tuhan yang paling bahagia dan berharga di mata Tuhan dengan  keadaan apapun.
“Jauhi virusnya bukan orangnya.”
*Terima kasih untuk semua sahabat yang membaca kisahnya dan yang telah share link kisahnya di twitter, FB dan via bb  :)
Semoga tulisan saya ini bermanfaat bagi banyak pembaca.
