Beberapa hari yang lalu saya mendengar kabar tentang pencekalan dialog dan bedah buku bersama pengarang Irshad Manji yang dihadiri oleh kelompok Teater Salihara di beberapa Universitas Negeri ternama di Indonesia atas bukunya yang berjudul : Allah, Liberty, Love.
Tidak ada apa-apa dengan Irshad Manji dan bukunya. FPI beralasan dengan kalimat propaganda khasnya bahwa buku ini sangat kontroversial dan sangat tidak sesuai dengan syariah, moral beragama. Moral yang bagaimana? Saya sangat menyayangkan hal ini, tidak ada yang aneh atau kontroversial dengan isi buku, semua seperti halnya buku karya sastra lainnya, toh bukunya seperti discography menurut saya. Kalau dipikir secara rasional, ini kan sebuah wadah dalam berdialog, membedah isi buku, atau paling tidak kita mendengarkan pertanggung jawaban si penulis alasan dia menulis buku seperti ini, bukan berarti mengajarkan hal-hal yang tidak sesuai kepada masyarakat umum. Ingat, manusia Indonesia sudah cukup pintar dan cerdas memilih dan memilah, men-setting filter moral pada setiap individu. Berbicara soal urusan moral dan Agama bukan FPI atau Undang-Undang yang mengatur, ini semacam pertanggung jawaban internal antara manusia dan TuhanNya.
Berbicara tentang buku Irshad Manji, Allah, Liberty, Love, menurut hemat saya, justru masyarakat Indonesia perlu banyak variasi referensi kultur buku, seperti halnya tema-tema Humaniora fakta kehidupan yang diusung Irshad dalam bukunya, tentang kehidupan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender). Kita harus sering-sering buka mata lebar-lebar, bahwa di luar sana bertebaran karya sastra picisan yang luar biasa mengerikan dan extreme lagi. Halo! ini jaman IT, apapun yang dilarang nantinya akan lebih cemerlang dan fenomenal. Seperti virus, bagi yang merasa kebebasannya terkekang akan memberontak dan menyebar dengan berbagai cara.
Nah, ini wacana baru bagi masyarakat yang tidak akan bisa menghindar dari kehidupan multikultur majemuk. Saya pun baru tahu bahwa ada istilah ini dan membuka wacana baru bagi pemikiran saya bahwa oh ini lho manusia, the minority in majority, mereka manusia sama seperti kita, mereka manusia yang ingin juga hidup 'normal' diterima dan bisa hidup wajar dengan orang-orang normal seperti kita. Perbedaan itu indah kawan ...jangan lupa bahwa setiap manusia memang diciptakan Tuhan berbeda dan unik!. Entah otak macam apa sebenarnya yang ada di benak para Ormas-Ormas ini sampai mencekal kebebasan berdialog publik. Saya mulai geram kalau urusan moral,agama apalagi kebebasan berdialog harus diatur oleh Ormas tertentu. Apa iya setelah menghadiri dialog dan bedah buku ini, masyarakat yang ikut di dalamnya akan mendadak langsung berubah haluan menjadi Gay, Lesbian, atau lebih extreme lagi Transgender. Tidak!. Ini pemikiran gila, ini pemikiran cuma dimiliki oleh pribadi-pribadi norak dan absurb.
Saya tarik mundur lagi, ketika sebulan yang lalu saya menghadiri dialog dan bedah Film Sanubari Jakarta di Kampung Ilmu Surabaya. Ini merupakan program Road Show nonton bareng sekaligus dialog dan bedah Film yang diselenggarakan oleh Sutradara Film Lola Amaria dan aktivis LGBT juga salah satu pemain serial Omni bus ini,mas Dimas Harry. Sebelumnya sempat dilaksanakan acara yang sama di Fisip UNAIR dan Gedung Yayasan Bhineka. Untung tidak kena lirikan FPI, jadi kegiatan nobar dan dialog berjalan dengan lancar dengan dihadiri oleh sutradara,pemain film,masyarakat umum, teman-teman wartawan lokal dan aktivis LGBT maupun aktivis kemanusiaan lainnya. Saya men-posisikan diri sebagai penikmat film dan karya sastra lainnya, dan sepertinya saya perlu membuka mata, hati, dan pemikiran bagi anda yang memang memandang sebelah atau risih jika membahas apalagi duduk bersama kaum minoritas ini. Malam itu, saya duduk bersebelahan dengan Partner kerja saya, mas Jimmy, bertemu dan berkenalan dengan orang-orang nyentrik dan luar biasa. Orang-orang yang apa adanya, tanpa memakai topeng, jujur... saya bisa jamin dan bandingkan dengan lingkungan kerja instansi formal saya. Begitulah, dunia malam itu terbalik lagi, disisi ini saya bisa merasakan sekarang menjadi normal diantara tidak normal, atau menjadi the minority in majority kalau bisa dibilang begitu, hehehe. Mereka hangat, mereka ramah, mereka open minded dan saya tidak peduli lagi entah itu mereka Normal, Gay, Lesbian, Bisexual atau Transgender, saya merasa nyaman dan tidak canggung bergaul dengan mereka.Oh...dunia ini sangat indah kalau saling menghargai dan menghormati!!. Saya orang yang antipati dengan kalimat : Siapa kamu, siapa aku , dan setelah pemutaran film Sanubari Jakarta selesai, dilanjutkan dialog bersama. Disini mbak Lola Amaria dan pemain Film lainnya bersikap terbuka dan biasa, ngobrol bersama, duduk bersama, di ruang yang sama, ngopi bareng, tanpa ada rasa beda stereotip ras dan beda haluan.
Intinya cuma, hak berdialog dan berpendapat entah dalam media buku karya sastra, Film, Musik, atau seni lainnya itu tidak perlu dicekal. Kalau begini caranya, maka rumit juga jadi orang Indonesia ya. Urusan Agama urusan masing-masing manusia. Ini cuma kegiatan bedah buku atau bedah film, toh efeknya setelah ikut kegiatan ini bersama aktivis-aktivis lainnya tidak membuat saya menjadi monster atau berubah orientasi, yang ada malah saya ini harus belajar lagi memahami dengan hati manusia yang majemuk diciptakan dengan unik. Itulah kehidupan dalam perbedaan, menarik bukan? :)
Dengan geramnya publik dan ramainya somasi anti FPI di jejaring sosial Twitter, buku Irshad Manji yang seharusnya di terbitkan oleh pihak Gramedia pun akhirnya tidak jadi di publikasikan. Dan dengan senang hati, akhirnya si penulis menerbitkan hak cipta buku secara cuma-cuma di media publik. Di bawah ini saya lampirkan file digi book dari thread teman-teman. So, be a rational and an open minded People!! :)
- Die Freiheit/dif -