Prolog:
Yang namanya diskriminasi pasti ada di setiap instansi, apalagi itu instansi pendidikan yang seharusnya dipandang ''baik'' di mata masyarakat, tapi acak-adut di birokrasi internalnya. Entah itu diskriminasi dalam siswa-siswinya sendiri, Pegawai tidak tetap, Guru tidak tetap, dll. Yang tanpa status adalah obyek empuk untuk terinjak, yang tanpa status cuma obyek uji coba, dan yang tanpa status adalah cuma sebagai pemain belakang. Entah sampai kapan faham senioritas ini akan berkembang di Indonesia, katanya pendidikan karakter.... karakter yang bagaimana ya?. Mengajarkan dan menanamkan dogma pendidikan karakter, tapi internal otak dan hati tidak ber-karakter sama sekali. Saya apatis tentang sistem propaganda pendiidkan karakter ini, we're just like a stupid rabbits. Nah...inilah, selamat datang di dunia Pendidikan Indonesia!.
***** *****
Re-Post + Re-Share info:
Pernyataan Pers Hardiknas: RSBI Khianati Amanat Pendidikan & Melegalkan Diskriminasi Anak Bangsa
Pernyataan Pers Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan
Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2012
RSBI Khianati Amanat Pendidikan & Melegalkan Diskriminasi Anak Bangsa
Setiap 2 Mei, rakyat Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional yang biasa disingkat Hardiknas. Menengok sejenak ke belakang, sejarah diperingatinya 2 Mei sebagai Hardiknas adalah mengenang tokoh Pendidikan Indonesia, yakni Ki Hajar Dewantara, yang lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Dirinya lah yang mempelopori berdirinya Taman Siswa.
Mengenai arahan Pendidikan Indonesia, para funding fatherkita yang terwadahi dalam “Sub-Panitia Pendidikan dan Pengajaran” yang diketuai oleh Ki Hadjar Dewantara, mengamanatkan beberapa hal, diantaranya adalah
“Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budidaya rakyat Indonesia seluruhnya- Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai `kebudayaan bangsa'. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan bangsa, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing, yang dapat memperkembang atau memperkaya kebudayaan.”
Namun sekarang terdapat pertentangan dan hal yang justru a historis dalam sistem pendidikan nasional yang dibangun Pemerintahan SBY. Hal mana dapat dilihat dari dikembangkannya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Keberadaan RSBI yang merupakan mandat Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas justru diarahkan untuk mengadopsi nilai dan proses pembelajaran di negara anggota OECD atau negara maju lain yang menggunakan dasar dan falsafah individualistis dan kapitalistis yang berbeda dengan dasar dan falsafah bangsa Indonesia.
Penggunaan Bahasa Inggris sebagai pengantar mata pelajaran di RSBI, kecuali pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan muatan lokal juga adalah suatu masalah, karena bertentangan dengan semangat Sumpah Pemuda 1928 yang berikrar bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Padahal kemampuan Bahasa Indonesia sebagai bahasa modern telah diakui UNESCO, sebagai bahasa yang dapat digunakan untuk membahas hal-hal yang abstrak. Terlebih, pada masa lalu bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar komunikasi antar kelompok bangsa yang saat ini menjadi bangsa Indonesia (lingua franca).
Penyelenggaraan RSBI juga telah melanggar hak konstitusi warga negara dalam pemenuhan kewajiban mengikuti pendidikan dasar. Melalui RSBI, pendidikan yang sejatinya merupakan prasyarat bagi penikmatan hak asasi manusia, ternyata dirancang hanya untuk sebagian kecil rakyat Indonesia, bukan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Penyelenggaraan RSBI didasarkan pada pasal 50 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional), yang berbunyi “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”
Guna mendukung pasal tersebut, Pemerintah membuat peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum penyelenggara RSBI untuk memungut bayaran tinggi pada warga negara dan bahkan tidak terjangkau oleh kelompok miskin.
RSBI adalah bentuk sekolah unggulan yang biayanya lebih mahal dari biaya kuliah. Demi seorang anak, orang tua pasti akan berkorban, dipaksa secara kasar atau halus berjuang untuk menyekolahkan anaknya. Hal ini sadar atau tidak sebenarnya mereka (orang tua) tertindas. Ada keterpaksaan namun seolah sukarela, yang disebut sebagai kekerasan simbolik, yakni kekerasan yang halus sehingga yang menerima kekerasan tersebut seakan-akan merasa tidak tersiksa, bahkan sukarela menerimanya.
Ada banyak faktor yang menjadi sebab, diantaranya: gengsi, ketakutan, keinginan mendapat status sosial lebih baik, khawatir masa depan anaknya, dsb. Dalam konteks sekolah, hal ini perlu dipertimbangkan pemerintah dan pihak sekolah. Kalau sekolah tidak memikirkan perasaan, kondisi siswa dan orang tuanya, mereka adalah pelaku kekerasan simbolik.
Melihat buruknya dampak RSBI, yang merupakan proyek tanpa perencanaan dan amburadul, kami Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan menganggap adalah penting menuntaskan terlebih dahulu pemenuhan kewajiban pendidikan dasar bagi warga negara, karena sekolah-sekolah (RSBI) yang saat ini mendapat dukungan sumber dana dan sumber daya dari pemerintah sebelumnya adalah sekolah-sekolah yang memang sudah unggul mutunya, sehingga pemberian label hanya sedikit saja menambah polesan terhadap sekolah-sekolah tersebut.
Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan menilai bahwa pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas bertujuan meliberalisasi pendidikan Indonesia. Tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan Indonesia terutama pembiayaan pendidikan secara perlahan namun pasti digeser dari negara pada individu. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa tiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Indonesia merupakan negara kesejahteraan (welfare state) dimana pendidikan merupakan barang publik (public goods) dan bukan barang pribadi (private goods).
Berdasarkan hal di atas, dan mengetahui adanya Pengujian Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan berharap agar Majelis Hakim MK membatalkan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas sehingga dasar, falsafah dan tujuan pendidikan nasional dapat dikembalikan kepada tujuan awalnya, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa Indonesia dapat dicapai dan dinikmati seluruh rakyat Indonesia.
Hormat Kami,
Jakarta, 2 Mei 2012
Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan
Indonesia Corruption Watch (ICW) – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) – Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) – Public Interest Lawyer Network (PILNet) – Ikatan Guru Independen (IGI) – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) – Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) – Koalisi Anti Korupsi Pendidikan (KAKP)