Fuad Mardhatillah
Dosen tetap pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry (State Islamic Institute), Banda Aceh sejak tahun 1994. Menyelesaikan program Master of Arts (MA) di Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Canada, pada tahun 1997. Saat ini ia sedang kuliah di Program Doktor pada IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Abstract
Humanitarian disaster and social tragedy, which have been massively happening in this country, is an effect caused by the failure of the social function of schools in educating spiritual substance of humanity. Recently, schooling was held as a vehicle for teaching so as to direct and emphasize the mastery of information science issues and to form skills, expertise and professionalism that will dry humanitarian values. Nevertheless, the human spiritual dimension that leads to the formation of social consciousness and sensitivity, as something that is most essential in the education process at school, is not fully considered in school institutions. This happens because education stakeholders have been driven by the spirit and pragmatism of life-materialistic orientation. Thus, interpersonal relationships between the alumni of schools and the communities living in surrounding areas are counter-productive, oppressive, conquering and even preying with one another (vulture culture). As such, disasters and social tragedies in different variants grow. Supposedly, the school institutions are to understand as a social institutions in which the entire educational process taking place must be in accordance with the principles and basic human values that are autonomous, relative, unique, dynamic and free / independent and responsible. As a logical consequence, learners should be placed as a subject who has the rights to freedom of self-actualization and correctly choose their future, intelligence, independence and responsibility. The teacher simply serves as a motivator, facilitator, and moderator who back up them with information that can arouse their consciousness--human souls of learners only. Given this way of educating, alumni of the schools not only have the power and physical skills only, but also have the senses of humanity in the context of understanding of "sense-plus" that grow, develop and embed in the soul of humanity, which encourages the expression of appropriate behaviors aligned with the real identity of humanity. Every school alumni will become agents of social that create peace and welfare for all, and who pace each other in all aspects of humanity and life.
Pendahuluan
Keheranan atas kenyataan anomali menyangkut kinerja dan outcome dunia persekolahan, tentunya hadir dalam pikiran banyak orang, di tengah realitas krisis dan tragedi sosial dalam masyarakat, ketika hubungan antar pribadi/kelompok telah kehilangan dimensi altruismenya. Dari keheranan yang anomali muncullah sebuah pertanyaan yang agaknya sering diajukan oleh masyarakat luas, terutama dari kalangan masyarakat akar rumput, yang selama ini terus merasa tertindas dan terpinggirkan dari gegap-gempitanya pembangunan fisik-material, yang terasa justru merusak secara massif dan mendasar dimensi mental-spiritual warga bangsa ini, khususnya para elit aparatur pelaksana negara.
Pertanyaan tersebut sejatinya erat terkait dengan realitas sosial kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang kini tampak diliputi banyak tragedi dalam artian sosiologis. Sementara umumnya warga masyarakat yang diliputi dan sekaligus menjadi pelaku tragedi sosial tersebut, adalah para lulusan (alumni) dari berbagai sekolah di Indonesia, mulai dari level yang paling bawah hingga yang paling tinggi.
Terus, bahwa anomali yang menjadi pertanyaan masyarakat tersebut sebenarnya juga merupakan persoalan yang menyangkut teleologi pendidikan, bersama segala proses (metodologi) yang telah digunakan dan dilalui hingga akhirnya mewujudlah outcome teleologis yang kini menjadi kenyataan sosial. Sementara selama ini, pendidikan lazim dipahami oleh umumnya masyarakat sebagai proses usaha mengembangkan seluruh potensi peserta didik, menuju pencapaian tertinggi dari kemampuan dan profesionalitas dirinya, yang diorientasikan lebih pada pencapaian cita-cita dan pemenuhan kebutuhan pribadi/keluarga sehingga tujuan pendidikan yang semestinya tidak sekedar meliputi tujuan-tujuan individual dan professional, tetapi juga tujuan-tujuan sosial menjadi terabaikan sedemikian rupa (Al-Syaibani, 1979: 399-474).
Oleh karena itu, bahwa hilangnya dimensi tujuan sosial sebagai bagian integral dari trilogi tujuan pendidikan tersebut, kiranya telah menjadi sebab gagalnya proses pendidikan nasional Indonesia selama ini, terutama dalam tugasnya membina dimensi altruistic warga negaranya, khususnya para pemangku kekuasaan. Karenanya, walaupun manusia secara pre-deterministik telah ditetapkan sebagai makhluk sosial yang pada dirinya melekat berbagai keharusan sosial (social must), tetapi akhirnya menjadi gagal membentuk kesadaran esensial altruistic. Dengan kata lain, dirinya membutuhkan bantuan orang-orang lain, baik secara langsung maupun tidak, ketika ia harus dan ingin memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.
Kegagalan menyadari fungsi sosial itu kiranya telah diakibatkan oleh pembinaan kapasitas individual peserta didik hingga mencapai tingkat kemampuan dan profesionalitas tertentu, yang hanya lebih terpusat kepada optimalisasi pencapaian prestasi pribadi para peserta didik dalam medan persaingannya dengan para peserta didik yang lain. Maka, proses pendidikan di sini lebih menanamkan benih dan semangat persaingan, ketimbang semangat bekerjasama. Sehingga orang-orang lain yang ada di sekitarnya cenderung di lihat sebagai pihak yang harus ditaklukkan dan dikalahkan. Dari modus persaingan itu, peserta didik juga akan sekaligus menghilangkan perasaan membutuhkan orang lain, bahkan orang lain lebih lanjut dapat dilihat sebagai ancaman.
Andaikata masih ada semacam perasaan memerlukan kepada orang lain, itu lebih di lihat dan dipahami dalam pengertian pragmatisme sosial belaka. Sedangkan kesadaran sosial yang mampu melahirkan kepedulian, solidaritas dan kasih sayang untuk merahmati orang lain, sama sekali menghilang dari kesadaran mereka, setelah sekian lama berlangsungnya proses rekayasa pendidikan berbasis persaingan tersebut.
Tegasnya proses persekolahan yang berbasis persaingan tersebut dan berlangsung sekian lama dalam dirinya, akhirnya telah gagal menumbuhkan sense of altruism. Artinya, pendidikan telah gagal menumbuhkan sebuah kesadaran yang tidak saja menghadirkan perasaan apresiatif, respek dan solider atas sesama. Tetapi sekaligus gagal pula membangkitkan motivasi dan semangat perjuangan untuk menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang-orang lain, sebanyak mungkin.
Selanjutnya, realitas tragedi kemasyarakatan yang lebih menyangkut rusaknya dimensi hubungan sosial kemanusiaan itu adalah suatu realitas sosial yang sebenarnya telah dibentuk oleh para alumni lembaga-lembaga persekolahan. Dan realitas itu sungguh bukanlah suatu derivasi logis konsekuensial dari jati kemanusiaannya sebagai makhluk sosial. Setiap individu semestinya harus menyadari benar dimensi sosial kehidupannya, ketika ia bereksistensi dalam entitas kemanusiaan yang utuh dan sejati.
Maka rangkaian pertanyaan anomalis itu adalah: mengapa orang-orang Aceh/ Indonesia, khususnya para elit pemimpin dan tokoh-tokohnya, yang semuanya adalah orang-orang terdidik/alumni berbagai lembaga sekolah, yang kiranya masih memiliki sikap-sikap jujur, baik hati, peduli, ramah, mengayomi, rela berbagi dan senang memperjuangkan kemaslahatan orang-orang lain, kini tampak menjadi semakin langka, mengapa? Akan tetapi sebaliknya, mengapa pula, para pencuri/perampok (koruptor), penipu/pembohong/munafiqin (manipulator), penindas/pengisap/parasit (intimidator), pemangsa (predator), peniru/penjiplak (plagiator), penjilat (licker) dan preman (gangsters), justru tampak semakin ramai berkeliaran di sana-sini, memangsa anak-anak bangsa di negeri ini, selama lebih dari 30 tahun lalu hingga saat ini? (Teuku Yacob, 2004). Seolah sekolah-sekolah di Indonesia telah menjadi pabrik yang memproduksi para manusia serigala, yang selalu cendrung memangsa orang lain, yang bersifat l’exploitation de l’homme par l’homme dan berkembanglah ideologi yang memuarakan sikap homo homini lupus.
Eksploitasi manusia atas manusia yang justru menjadi outcome pendidikan bisa terjadi ketika institusi pendidikan telah merubah orientasinya menjadi tempat mencari kehidupan yang lebih didasarkan pada panggilan ontologisme dari mazham kapitalisme, pragmatisme dan hedonisme yang berdampak meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan dalam perspektif keutuhannya. Kehadiran manusia sebagai primordial covenant seperti yang dipahami Ibnu Arabi dalam perspektif al-a’yanuts-tsabitah, kiranya telah gagal diayomi oleh lembaga-lembaga sekolah, dalam menjalankan amanah fungsionalnya dalam mendidik manusia untuk eksis sebagai the divine presence (William C. Chittick, 1989: 3-19).
Situasi realitas sosial yang seperti itulah yang telah mengakibatkan munculnya seorang Paolo Friere, yang coba menggugat sistem dan substansi pendidikan di Brazilia yang justru menghasilkan para alumnus yang anti-sosial, menindas dan eksploitatif. Ia muncul melawan melalui tawaran paradigma baru pendidikan dengan “Pendidikan Pembebasan” (Paulo Friere, 2004: 208-212).
Di sini konsep Darwin, Survival of the Fittest, yang tadinya hanya berlaku di dunia hewani, kini secara sadar atau tidak telah diadopsi oleh lembaga-lembaga sekolah, yang bertugas untuk mendidik orang-orang menjadi “pintar.” Kepintaran ini kemudian menjadi alat dan kekuatan bagi individu untuk survivalisme dirinya menghadapi seleksi alam dalam persaingan yang lebih diorientasikan pada pencapaian keinginan hedonis-materialistic (Darwin, 2003: 67-117). Sementara kesenangan itu lebih dipahami dan dinikmati tidak bersama dengan masyarakat, tetapi lebih dalam ruang lingkup yang eksklusif dan amat terbatas.
Mungkin banyak orang tidak pernah membayangkan, bahwa penyebab dari semua kerusakan moral dan etik sosial masyarakat tersebut adalah justru mulai terjadi sejak di lembaga-lembaga “sekolah.” Meskipun secara fungsional, sekolah merupakan suatu institusi yang biasanya cenderung dibayangkan masyarakat sebagai tempat berlangsung nya proses-proses pembelajaran sehingga sekolah menjadi tumpuan harapan orang tua bagi pemenuhan kebutuhan dasar akan pendidikan anak-anaknya.
Lebih jauh, lembaga-lembaga sekolah sangat diharapkan untuk menjadi tempat berprosesnya pendidikan, dimana proses pendidikan itu sendiri barangkali belum dipahami dengan benar oleh masyarakat luas, di semua kalangan, di samping pendidikan juga dipahami secara sangat beragam sehingga belum tentu umumnya masyarakat memahami sekolah sebagai lembaga untuk membangun, merekayasa dan melatih kesadaran altruistik setiap pribadi peserta didik, sebagai para warga negara. Agar kemudian mampu membina pola dan sistem kehidupan bersama, dalam suatu himpunan masyarakat dan bangsa yang bersatu. Sehingga mereka bias sampai memiliki sense of citizenship, dimana rasa bertanggung-jawab sebagai warga negara tumbuh dan berkembang dengan segala konsekuensinya dalam setiap dada masyarakat terdidik, yang tentunya amat penting dalam membangun negara yang kuat dan bermartabat.
Tidak berlebihan kiranya, jika realitas kemiskinan yang hari ini mendera bangsa kita ini, adalah merupakan hasil eksponensial dari gagalnya lembaga-lembaga sekolah dalam melahirkan para warga negara yang memiliki sense of citizenship, yang tidak koruptif dan manipulatif terhadap kepentingan umum. Dimana inti kesadarannya adalah adanya tanggung-jawab, dedikasi dan komitmen warga negara, terutama warga para elit pemimpinnya untuk menjadikan negara sebagai sarana institusional dan konstitusional untuk menabur kebanggaan, keadilan dan kesejahteraan warganya. Sehingga eksistensi benar-benar dirasakan manfaatnya oleh warganya. Untuk mencermati, bagaimana berbagai institusi sekolah memainkan peran strategisnya dalam pembangunan kesadaran berbangsa dan bernegara (Martin, 2007: 436-451).
Sebenarnya, keniscayaan altruistik itu merupakan hal yang paling asasi dan sama sekali tak mungkin dihindarkan, ketika manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, yang selalu butuh akan kehadiran orang lain dalam suatu kerangka organisasi yang memiliki tujuan-tujuan bersama. Namun ternyata, inherensi manusia sebagai makhluk sosial tidak justru berkembang potensi altruistiknya di lembaga-lembaga sekolah. Sementara dimensi individual para peserta didik yang terus terbina dalam berbagai karakter yang egosentris, yang menjadi semakin ekstrim, adalah merupakan hasil dominan yang diproduksi oleh sekolah-sekolah yang telah dan sedang mengalami disorientasi kemanusiaan yang mengarah kepada penghancuran species manusia itu sendiri.
Inilah realitas yang oleh Barry Smart disebut sebagai postmodern paradox. Yakni realitas dimana para manusia yang telah mendapatkan pendidikan di lembaga-lembaga sekolah, yang tadinya diharapkan telah menjadi makhluk yang rasional dalam menyikapi dimensi alamiah manusia sebagai makhluk sosial, semestinya harus lebih mampu pula bersikap solider, respectful to others dan menjadikan dirinya menjadi bermanfaat bagi orang lain. Betapapun misalnya kapitalisme telah menjadi ideologi modern yang menusuk jantung kehidupan masyarakat dunia, tetapi tidak seharusnya mencerabut manusia dari akar-akar sosiologis yang melekat pada jati kemanusiaannya (Smart, 1992: 141-182).
Prosesi sekolah paska intervensi politik
Secara tidak disadari, bahwa sekolah sudah sejak lama menjadi arena dimana para penjahat kemanusiaan itu dididik, dibina dan diproses, sejak kecil hingga dewasa, dalam proses-proses pemolaan persekolahan yang ada di Indonesia, mulai dari SD/MIN hingga PT/PTAI. Dalam hubungan ini, apa yang membuat proses persekolahan menjadi paradoksal itu adalah, ketika intervensi politik dari rezim penguasa Orde Baru yang memandang sekolah sebagai tempat pembinaan warga negara untuk sekedar manjadi loyalist dan menjadithe followers sebagai pengikut budiman tanpa reserve dari apapun kehendak politik kekuasaan para penguasanya. Hal seperti itu perlu dilakukan penguasa Orba, karena sekolah yang tanpa pengawalan politik yang ketat, dikhawatirkan akan dapat menjadi lembaga pencerah yang potensial menjadi ancaman bagi rezim kekuasaan. Maka politik pembungkaman rakyat, termasuk semua lembaga-lemabaga pendidikan, merupakan awal dari kehancuran sumber daya manusia bangsa ini, yang kini kita tuai akibat buruk eksponensialnya (K. Emmerson, 2001: 65-121).
Tentu telah umum diketahui, bahwa institusi-institusi sekolah merupakan arena dan wadah dimana sistem pendidikan dan pengajaran berlangsung bersama segala aturan administratif, kebijakan-manajerial dan metodologi proses mengajar-belajarnya. Semua itu merupakan piranti lunak (software) yang secara sistematis berfungsi untuk mengupgrade kapasitas pengetahuan dan pemahaman peserta didik, serta memprogram, merekayasa dan membentuk pola-pikir, mentalitas dan prilaku para peserta sekolah, yaitu anak-anak bangsa ini, di semua jenjang persekolahannya.
Maka tak pelak, bahwa segala bentuk perilaku jahat dan busuk, yang bersifat merugikan orang-orang lain, seperti mencuri, menipu, menindas, menghisap (parasitis), merampok, menjajah, menjiplak dan menjilat, tentu seluruh proses-proses penanaman benih-benih awalnya justru bermula dari dan di sekolah. Semua prilaku yang terbentuk itu merupakan hasil atau produk dari segala aktivitas dan interaksi antarkomponen pendidikan, baik yang bersifat kurikuler maupun ekstra kurikuler bersama segala aturan dan kebijakannya.
Pemolaan dan penanaman nilai yang menghunjam di kedalaman jiwa peserta sekolah, adalah merupakan proses-proses intelektualisasi yang mempola pikiran dan mentalitas, dan proses spiritualisasi yang membentuk kesadaran dan aneka pertimbangan yang pasti digunakan ketika dirinya harus memilih dan menentukan sikap, perilaku dan respon-respon asosiatif lainnya, dalam menjalani kehidupan sehari-hari dengan segala kebutuhannya. Di samping itu, segala interaksi dan komunikasi yang berlangsung secara terus menerus antara variabel-variabel pendidikan yang terkandung di dalamnya, semua berjalan simultan.
Hal itu meliputi variabel guru dengan segala kapasitas, proses dan metodologi mengajarnya; variabel murid dengan segala minat, bakat dan latar belakang sosialnya; variabel pegawai dengan berbagai tanggung-jawab pekerjaan dan aturan yang harus dipatuhinya; variabel aturan dengan segala subjektifitas para pembuatnya yang seringkali kurang memikirkan kepentingan luas bersama. Juga, variable kurikulum dengan segala keluputan, kekurangan, keterbatasan dan kecenderungan status quonya; variabel kepemimpinan sekolah dengan segala gaya manajerial yang kaku, tertutup dan cenderung memaksa kehendak, dan masyarakat lingkungan sekitar dengan segala ketidak-pahaman dan ketidak-peduliannya. Seluruh variabel itu berlangsung dan berjalin secara eksponensial selama peserta didik berada di sekolah, dan bahkan terbawa-bawa ketika mereka telah berada di luar sekolah.
Dalam konteks filsafat kritis yang digunakan untuk mendobrak aneka kemapanan status quo dan sifat hegemoniknya, sekolah bukanlah custodial institution yang memenjarakan peserta didiknya dalam bingkai aturan-aturan, kurikulum dan kewajiban-kewajiban yang mematikan kreatifitas, inovasi dan invensi serta produktivitas. Juga sekolah bukanlah menjadi pusat tempat berlangsungnya proses indoktrinasi, yang selalu mencoba menyeragamkan aneka pluralitas. Tetapi sekolah harus dapat berfungsi sebagai pusat pembebasan yang memberi bagi pesertanya keleluasaan dan kesempatan dalam mengeksplorasi, mengekspresi dan mengaktualisasikan segala potensi dirinya agar kemudian dapat menemukan kebenaran yang meyakinkan. Secara eksistensial, peserta sekolah dapat berkembang, hingga mencapai puncak-puncak kemanusiaannya dan secara optimal dapat menjadikan dirinya berguna bagi alam semesta penciptaan (Beatrice A. Ward, 1994: 55-64).
Dalam konteks Islam, sekolah harus dapat menjadi pusat tempat terjadinya perubahan dan pencerahan bagi setiap peserta didik, menuju terbangunnya manusia-manusia jujur, ikhlas, kritis, kreatif, inventif dan produktif, yang mengemban misi-misi profetik dalam menabur rahmat bagi semesta alam. Bukan sekedar pendidikan yang hanya untuk pengembangan potensi diri peserta didik, yang diorientasikan hanya untuk berguna bagi dirinya sendiri belaka (Kuntowijoyo, 1991: 159-165).
Proses-proses pendidikan indoktrinasi yang bertentangan dengan semangat kemanusiaan Islam, telah berlangsung secara simultan dan terus menerus di arena persekolahan kita selama ini. Tidak ada debat dan pertanyaan-pertanyaan kritis- ontologis. Juga tidak ada kritik-kritik epistemologis dalam kerangka keilmuan, di samping tidak ada pula gugatan-gugatan metodologis dalam proses belajar-mengajar. Padahal semua itu, amat diperlukan sebagai upaya perberdayaan aktualitas potensi peserta sekolah dan juga upaya penyucian dimensi keilmuan yang berkembang di sekolah dari berbagai kontaminasi political and economical interest. Kecuali itu, berbagai gugatan kritis juga tidak terjadi, sebagai upaya validasi kontekstual terhadap kurikulum, aturan dan metodologi belajar vis a vis berbagai kenyataan sosial yang ada di sekeliling dan terus berubah secara dinamis, kompleks dan penuh konflik yang bersifat destruktif.
Seterusnya, segala bentuk kegiatan dan proses yang berlangsung di sekolah, lebih mengarah kepada proses-proses dehumanisasi, hegemoni, kolonialisasi dan pelumpuhan atas segala potensi manusiawi. Sehingga para peserta sekolah, secara tak terelakkan harus terjerumus ke dalam liang kehidupan persekolahan yang telah kehilangan elan vital sosialitasnya. Gambaran dunia persekolahan yang amat memprihatinkan semacam itulah yang merupakan “penjara” bagi para peserta didik, dan nyaris tidak memungkinkan mereka untuk mampu keluar dari tradisi sekolah yang memenjarakan tersebut, bahkan nantinya justru akan kembali diwariskan secara seksama. Dan selanjutnya ia akan menjadi kader penerus bagi segala kerusakan kemanusiaan itu, dengan segala kerusakan lebih lanjut menuju terbentuknyabarbarian society yang secara manusiawi telah kehilangan the idea of progress (G. Mestrovic, 1993: 49-67).
Bahkan tragisnya, ada banyak peserta sekolah yang kemudian malah mengadopsi sifat-sifat hewani yang gandrung mengandalkan kekerasan dan bersifat memangsa dalam mencari dan membela hajat hidup serta memenuhi segala keinginan nafsunya. Meskipun berbagai dalil-dalil sakral keagamaan sering juga diekspresikan untuk meyakinkan orang-orang lain, walau sebenarnya apa yang diekspresikan itu bertentangan dengan kehendak dan hakikat penciptaan manusia oleh Sang Khalik.
Singkatnya, dalam konteks makro kenegaraan dan pembentukan budaya dalam masyarakat, maka sekolah dari semua jenjangnya adalah pihak yang paling bertanggung-jawab terhadap desain rakayasa kepribadian, pola-pikir, mentalitas, perilaku dan peradaban warga bangsanya. Karena sekolah merupakan institusi resmi yang dirancang secara sadar, diatur sedemikian rupa oleh negara/pemerintah dengan peraturan/kebijakan yang dikeluarkannya dan dibiayai oleh uang rakyat, sebagai anggaran pembangunan yang dikelola pemerintah.
Semestinya sekolah harus menjadi tempat bertumbuh-kembangnya anak-anak manusia menuju puncak kemanusiaannya, menciptakan dan membina kader-kader negarawan yang bertanggung-jawab terhadap nasib rakyat yang dipimpinnya, yang peka terhadap nilai-nilai sejati kemanusiaan yang harus dilindungi dan ditegakkan. Namun sialnya, sekolah hingga kini terlihat nyaris gagal total dalam mengemban misi peradaban tersebut. Karena sekolah selama ini hanya melahirkan para loyalis, pengikut-pengikut buta dan para peniru yang tak berbudi, yang sekedar hanya mementingkan diri sendiri, setelah intervensi politik penguasa diktator merasuk ke lubuk jantung institusi-institusi sekolah.
Pengaruh intervensi politik terhadap dunia pendidikan di suatu negara, yang dijalankan penguasanya atas dasar keinginan politik untuk secara sitemik berharap dapat melestarikan kepentingan kekuasaan pribadi/kelompoknya, akhirnya memang cukup membuat warga bangsanya kehilangan kebebasan, harga diri kemanusiaan dan menjadikan mereka impoten tak berdaya. Sehingga warga bangsanya pun menjadi tidak mandiri, tidak memiliki posisi tawar yang seimbang di antara bangsa-bangsa dan bahkan terhina di mata dunia (Friere, 2002).
Sekolah dalam perspektif filsafat kritis
Benarkah institusi sekolah sudah menjadi ”dapur” bagi proses lahirnya para manusia cerdas yang jahat, picik dan licik?. Untuk menjawab itu, kiranya diperlukan kesediaan kita untuk menyempatkan diri secara iseng-iseng, tapi serius, untuk melakukan semacam survey kecil-kecilan, dan informal, terhadap sejumlah para peserta sekolah dari berbagai jenjangnya, mulai dari SD/MIN hingga SMU/MAN. Ambillah kemudian sejumlah sampel secara random dalam jumlah sebanyak mungkin yang bisa didapatkan, dimana sample itu merupakan representasi dari masing-masing jenjang pendidikan, dari lembaga sekolah yang ada di sekitar lingkungan anda. Kemudian tanyakan pada para responden anda itu pertanyaan seperti yang berikut ini:apakah selama ini anda merasa senang atau betah saat sedang belajar di dalam kelas di sekolah anda?.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, saya yakin, jawaban dari mayoritas (lebih dari 70%) peserta sekolah itu, pasti akan memberi jawaban “tidak menyenangkan” atau “membosankan” saat berada di dalam kelas. Lantas, pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa perasaan “tidak menyenangkan dan membosankan” itu justru harus dirasakan oleh sebagian besar peserta sekolah di berbagai jenjangnya?.
Maka rangkaian jawaban mereka adalah karena sekolah telah menjadi tempat dimana mereka merasa terbebani dengan berbagai beban aturan, tugas dan kewajiban. Di samping terkungkung pula jiwa, pikiran, intelektualitas dan aktualitasnya, ketika proses yang dikatakan “belajar” itu dirasakan seperti sedang direnggut secara esensial dimensi kebebasan berpikir dan berpendapat mereka sebagai anak-anak manusia yang punya hak otonom atas dirinya sendiri secara merdeka. Para guru mereka menganggap dirinya sebagai pemilik otoritas kebenaran, sehingga mereka tak cukup memiliki kesiapan mental dan intelektual untuk merangsang curiosity peserta didik bagi pengembangan kapasitas intelektual dan wawasan keilmuannya.
Dalam situasi semacam itu, tentu tak salah, jika sekolah kemudian dikatakan sebagai lembaga yang telah bermetamorfose menjadi sebuah “penjara”, yang membuat peserta sekolah merasa terkurung dalam pakem-pakem sekolah yang kaku dan tanpa dialektika, seolah ia hidup di ruang vakum. Sehingga membuat peserta didik merasa tidak senang, tidak nyaman dan tidak membetahkan berlama-lama berada di dalam ruang kelas sekolahnya.
Maka ketika anak-anak mendengarkan bunyi ”lonceng masuk” (kelas), segeralah berkecamuk segala kegelisahan dan perasaan tidak nyaman dalam jiwa dan pikiran anak-anak peserta sekolah. Maka apa yang segera muncul dalam jiwa dan pikiran serta ditunggu-tunggu oleh mereka adalah saat datanganya bunyi “lonceng keluar.” Ironis sekali bukan?.
Fenomena kepenjaraan itu dapat dirasakan oleh peserta sekolah dalam berbagai bentuk prosesi yang katanya sebagai bagian dari proses mendidik antara lain seperti pertama, berlangsungnya proses-proses indoktrinasi yang memaksa anak didik untuk harus menerima apapun pikiran yang diungkapkan oleh guru sebagai suatu rangkaian kebenaran yang tak boleh dibantah dan dipertanyakan. Di sini si guru mencoba mencitrakan dirinya sebagai orang yang pasti benar dan lantas menjadi sumber kebenaran. Para guru, termasuk juga dosen, enggan secara terbuka bersedia merangsang, mendorong, menggali dan memberi kepada anak-anak didiknya ruang dan kesempatan untuk bertanya dan mengelaborasi pemikiran kritisnya, di samping untuk mengeksplorasi daya intelektualitasnya secara bebas, merdeka, santun dan penuh tanggung-jawab.
Akibatnya, para murid tidak terlatih secara terbuka dan merdeka untuk berani mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan kritis yang barangkali dan boleh jadi akan menggugat kebenaran yang disampaikan oleh gurunya. Anak hanya berkembang menjadi pendengar budiman yang belum tentu cukup paham tentang apa yang didengarnya. Seterusnya anak-anak didik tersebut juga tidak pernah mengalami dialektika dinamis dalam proses-proses falsifikasi, verifikasi, justifikasi dan pencerahan (enlightment), untuk kemudian mereka dapat tumbuh berkembang dengan sebuah kesadaran rasional tentang sesuatu yang dikatakan “benar.” Sehingga kebenaran yang mereka terima lebih sebagai kebenaran yang bersifat simbolis, normatif dan formalistik, yang justru tampak bertentangan dengan realitas kenyataan yang ada di luar kelas/sekolah. Tetapi celakanya, para alumni lulusannya justru menjadi para peniru dan hanya mengulangi apa-apa saja yang selama ini didapatkan dari proses belajar mereka di sekolah.
Sebenarnya, mengantisipasi kegagalan pendidikan tersebut, sedikitnya ada tujuh strategi pembelajaran yang kiranya dapat ditempuh dalam pelaksanaan prosesi persekolahan, bersama segala proses belajarnya yang tampak salah kaprah selama ini. Ketujuh strategi itu adalah: (1). Pembelajaran berbasis problem; (2). Penggunaan konteks yang beragam; (3). Mempertimbangkan kebhinnekaan siswa; (4). Memberdayakan siswa untuk mau belajar sendiri; (5). Menggunakan Collaborative Learning; (6). Menggunakan penilaian autentik; (7). Mengejar standar tinggi. Untuk lebih lanjut dalam usaha memahami fungsi sekolah yang lebih manusiawi (B. Johnson, 2002).
Relasi kuasa dan pendidikan
Relasi antara politik (kekuasaan) dan rekayasa pendidikan ternyata telah menyebabkan kurikulum yang berlangsung di sekolah mismatch dengan realitas problematika sosial. Sekaligus telah menjauhkan jarak antara nilai-nilai normatif dan teoritis keilmuan yang diajarkan di sekolah dengan dunia kenyataan sosiologis. Sehingga kemunafikan tampak menjadi konsekuensi logis dari cultivasi sekolah terhadap perilaku sehari-hari masyarakat didikannya. Selain itu, metodologi proses belajar di sekolah juga tidak memberi ruang yang bebas untuk berkembangnya daya curiosity peserta didik. Rasa ingin tahu anak-anak di belenggu di seputar keinginan untuk menciptakan kepatuhan peserta sekolah kepada pakem politik pelestarian kekuasaan. Ini dimulai lewat harapan politik utama para guru, agar para peserta sekolah harus berlaku patuh tanpa tedeng aling-aling kepada guru-guru mereka, melalui modus-modus yang membuat anak-anak menjadi takut. Bahkan guru merasa bangga dan senang jika anak-anak didiknya takut terhadap dirinya.
Ketakutan dan kepatuhan telah menjadi ideologi para guru, meskipun kemudian justeru menjadi penyebab anak-anak didik menjadi tidak kreatif, pengecut, jumud dan bodoh. Namun guru sangat menikmati prosesi mengajarnya ketika para anak-anaknya takut dan patuh seribu bahasa terhadap aturan dan kemauan politik dirinya dan sekolahnya. Di sini, para guru sama sekali tidak bekerja untuk menciptakan anak-anak bangsa, agar menjadi kritis dan tercerahkan dalam membangun masa depan kemanusiaan bangsanya dengan segala peradaban yang melahirkan martabat kemuliaan.
Jika orientasi dan konsep pembangunan pendidikan Indonesia, termasuk Aceh tidak dirubah menuju prosesi pendidikan yang lebih membebaskan dan menghasilkan inisiatif kritis, kreatifitas dinamis dan produktifitas yang bermutu, barangkali bangsa ini akan terus berada di tepi jurang berbagai resiko yang mendegradasikan derajat kemanusiaan (a nation at risk). Untuk itu diperlukan upaya untuk menyingkirkan bahaya terhadap eksistensi bangsa melalui usaha reformasi pendidikan, yang meliputi seluruh aspek kependidikannya (D.P Gardner, et al. (eds.), 1983).
Jadi, meskipun ada sekolah yang ternyata dapat menghasilkan anak-anak unggul dan berprestasi, tetapi keunggulan dan prestasi itu hanya menjadi jalan eksklusif bagi keberhasilan masa depan mereka sendiri. Khususnya untuk membuat mereka dapat keluar dari lingkaran ketertindasan dan memudahkannya masuk ke lingkaran kekuasaan. Namun kemudian, mereka segera menjadi para penindas baru, yang terus bergerak melanjutkan proses penindasan struktural berjenjang yang selama mereka alami sebagai proses social modelling, yang secara tidak sadar telah menanamkan kaedah-kaedah hidup berhukum rimba, dimanapredator mentality, yakni yang kuat memangsa yang lemah, telah menjadi kelaziman yang dianggap benar.
Makanya kita tidak heran jika selama ini ada semboyan sinis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,”jika bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah.” Di samping itu, persaingan yang muncul dalam mindset bangsa ini juga terlihat bertolak belakang dengan hakikat eksistensial manusia terdidik, “susah lihat orang senang, tetapi senang lihat orang susah.” Itulah sebabnya jika segala urusan menjadi sulit dan didirikan di atas pilar ideologis pragmatisme, baik dalam urusan vertikal dengan para pemerintah maupun urusan horizontal antar sesama rakyat, dalam berbagai strata sosialnya dan atara yang kuat dengan lemah.
Mindset dan kelakuan predatoristik inilah dalam perjalanannya berkembang menjadi budaya saling memangsa antar sesama anak-anak bangsa (vulture culture). Budaya ini sungguh telah lama berlangsung di negeri ini, sejak sedikitnya 40 tahun yang lalu, khususnya di masa Orde Baru berkuasa, dan entah kapan dapat diakhiri. Ini berarti, bahwa pendidikan sekolah harus diarahkan untuk memahami tanggung-jawab entitas dirinya, untuk menciptakan warga masyarakat yang sadar akan konteks dan tugas kemanusiaannya dalam bernegara (Kohli, 1995).
Itulah hasil dari proses pendidikan yang sejauh ini hanya di lihat, baik oleh para orang tua peserta sekolah maupun masyarakat pada umumnya, hanya sebatas sebagai proses untuk memperoleh kekuasaan, dalam arti yang tidak sebatas kekuasaan politik. Tetapi kekuasaan dalam artian yang luas, menyangkut wilayah-wilayah otoritas keilmuan, sosial, budaya dan agama. Sararan akhirnya adalah, agar dapat menjadi kaya raya dan menjadi figur yang populer, yang senantiasa mendambakan kehormatan feodalistik. Walau dengan cara-cara yang bersifat machiavelistik, yang cenderung menghalalkan segala cara, dan dibungkus dengan berbagai pencitraan, sebagai kamuflase licik dalam berbagai asesoris kemasan penampilan politik-perilakunya.
Demikianlah watak sekolah bangsa ini yang sekedar telah berfungsi sebagai penjara dan melahirkan para koruptor, perampok dan pencuri ”white colar crime” yang menghisap harta kekayaan masyarakat dan memakan harta-harta rakyatnya secara bathil. Makanya semakin banyak orang yang melewati jenjang-jenjang sekolah tertinggi, semakin banyak pula lahirnya para perampok dan pencuri, dalam berbagai modus operandi yang semakin canggih. Dampak sosialnya adalah, sekedar semakin menambah angka kemiskinan, akibat sistem dan struktur sosial politik yang dihasilkan orang-orang terdidik tampak penuh penipuan dan ketidak-adilan, yang hanya lebih berpikir untuk bagaimana memperbesar keuntungan pribadi ketika ia menjabat jabatan publik. Begitulah hasilnya, ketika sekolah telah menjadi alat kekuasaan (M. Eskobar, dkk, 1998: 29-68).
Untuk memelihara situasi yang menguntungkan penguasa itu, maka hubungan antara kurikulum dengan realitas sosial dibuat menjadi sedemikian rupa senjangnya. Sehingga kesenjangan antara idealitas, sebagai cita-cita (das sein) dan realitas, sebagai kenyataan yang terjadi (das sollen) diterima sebagai hal yang wajar, yang memang sudah demikianlah semestinya. Sekolah bukan lagi menjadi tempat untuk melahirkan kreatifitas mencari solusi atas berbagai problema masyarakat, yang kini sedang mengalami tragedi sosial dalam berbagai dimensi dan kualitasnya.
Ambil contoh, jika harapan dari pembuatan parit drainase kota misalnya, dipahami sebagai tempat ”mengalirkan air buang (limbah),” tetapi terlihat biasa-biasa saja, jika kemudian parit-parit kota itu ternyata hanya berfungsi menjadi tempat ”penampungan air buang (limbah).” Walau kemudian juga berfungsi untuk tempat perkembang-biakkan nyamuk dan lalat yang dapat menjadi pusat penyebaran penyakit. Kesenjangan pemaknaan parit antara idealita dan realita tersebut terus dilihat sebagai hal yang biasa, walau telah menghabiskan milyaran rupiah untuk pembuatannya yang hanya melahirkan kemubaziran.
Pertanyaannya, apakah para orang-orang yang terlibat dalam pembuatan parit (drainase) tersebut adalah orang-orang yang tidak bersekolah, sehingga tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang bagaimana membuat parit yang baik, benar dan fungsional, serta terpanggil untuk memperbaikinya ketika melihat parit yang tidak dibuatnya ternyata tidak berfungsi sama sekali, sejak awal parit itu diresmikan pejabatnya?.
Tentu jawabannya tidak dan pasti nyaris semua mereka adalah orang-orang yang pernah sekolah dan sangat amat mudah untuk membuat air bisa mengalir. Namun kenapa pula mereka tidak melaksanakan pembangunan drainase itu sesuai dengan teori keilmuan yang mereka pelajari dan membuat air yang ada di situ terus mengalir ke tempat pembuangan akhir?.
Itu semua boleh jadi karena mereka jugalah kiranya pembuat kurikulum, yang membahani pengetahuan peserta didik hanya sebatas teori-teori tentang air yang pasti akan bergerak ke arah permukaan lebih rendah. Namun tidak pernah dihubungkan dengan kenyataan di lapangan yang menunjukkan nyaris semua parit di dalam kota yang hanya menjadi tempat penyimpan air kotor dan sarang penyakit. Tentu banyak lagi contoh-contoh lain dari perspektif berbagai disiplin keilmuan dan sektor kehidupan, yang menggambarkan aneka jenis kesenjangan antara idealita teoritis dalam lembar-lembar buku dengan realita empiris di lapangan. Dan semua itu menjadi bukti, bahwa sekolah nyaris sama sekali tidak berguna untuk membuat hidup bersama menjadi lebih tentram dan nyaman.
Penutup
Memungkas diskusi ini, tentu kita patut bertanya, apa gunanya sekolah terus didirikan dan milyaran rupiah uang rakyat harus dihabiskan membiayai operasional sekolah, jika proses pendidikan yang berlangsung di dalam justru menghasilkan para alumni yang akan menciptakan berbagai masalah kemanusiaan dan tragedi sosial, bahkan satu sama lain menjadi saling memangsa (vulture culture)?.
Menghadapi tantangan persoalan pembangunan dan kehidupan sosial yang semakin kompleks dan semakin tidak manusiawi, tentu dunia pendidikan merupakan pihak yang paling berperan dan bertanggung-jawab untuk mempersiapkan kader-kader terdidik yang mampu melakukan reformasi dan transformasi sosial terhadap seluruh tatanan kehidupan yang kini bermasalah di semua lini. Namun sebelum dunia pendidikan itu mampu menghasilkan kader pembangunan yang mampu melakukan reformasi tersebut, tentu diperlukan reformasi terlebih dulu di lembaga-lembaga sekolah yang selama ini bertugas memberi layanan pendidikan kepada masyarakat, mulai dari tingkatan paling bawah hingga paling tinggi. Agar sekolah tidak lagi menjadi penjara bagi kehidupan ruhaniah manusia, dengan segala perangkat lunaknya yang senantiasa memerlukan layanan pendidikan.
Untuk itu, ada sejumlah rekomendasi yang bersifat reformatif dan transformatif menyangkut perspektif sosiologis institusi sekolah yang kiranya perlu dipertimbangkan secara seksama, agar sekolah menjadi wahana bagi pencerdasan, pencerahan dan pembebasan yang memuarakan kesadaran sosial-profetik, yaitu antara lain:
Pertama, institusi sekolah, dalam semua jenjangnya, haruslah dipahami sebagai lembaga sosial yang dijalankan secara kontekstual sesuai perkembangan pemikiran dan problematika sosial kemanusiaan masyarakat disekelilingnya. Artinya ada kaitan erat antara proses-proses internalisasi sekolah dengan proses-proses eksternalisasinya; Atas basis pertimbangan itu, maka kedua, muatan kurikulum dengan berbagai mata pelajarannya haruslah menjangkau sisi-sisi substansial keilmuannya yang transenden, bersama proses belajar-mengajar, atura-aturan sistemik dan hubungan antar stake holder, yang berlangsung di dalamnya harus berjalan secara manusiawi, dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar kemanusiaan yang otonom, dinamis, bebas, relatif, unik dan bertanggung-jawab, sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai manusia dan dalam posisi-posisi sosio-politisnya;
Ketiga, sekolah bukanlah lembaga yang lebih berperan untuk mengajarkan peserta didik untuk menguasai berbagai keterampilan fisik-ragawi kepanca-inderaan manusia, hingga mereka menjadi unggul, ahli dan dengan kadar dan jenis profesionalisme yang kering makna. Bahkan sekolah justru melakukan pembonsaian kemanusiaan, yang membelenggu dan mengekang dimensi-dimensi kebebasan akal, jiwa dan kehendak otonomnya yang justru menggagalkan proses kemanusiaan dirinya dalam memperoleh derajat kesejatian dan keutuhannya. Maka kemudian, keempat, sekolah haruslah lebih berfungsi mendidik yang bersifat membangkit-sadarkan sisi-sisi kemanusiaan peserta didik, dalam makna yang lebih luas dari sekedar inderawinya yang lima itu (panca indera).
Akan tetapi membahani, mendiskusikan, memfasilitasi meluaskan wawasan kemanusiaan dalam konteks pemahaman ”indera plus,” yang lebih luas dari sekedar panca indera. Proses ini dimaksudkan bagi mendorong pertumbuhan, pengembangan dan pendewasaan kemanusiaan, melalui dialektika tiga substansi potensi dasar kemanusiaan. Yang secara fitri terdiri dari ruhani syaithani (potensi yang cendrung mengarah ke pembentukan sifat dan prilaku negatif), ruhani thabi’i (potensi yang cenderung mengarah ke pembentukan sifat-sifat dan prilaku positif, yang khas, unik dan berbeda-beda sebagai makhluk manusia) dan ruhani ilahi (potensi yang mengarah ke pembentukan sifat-sifat ketuhanan). Agar dalam proses pendidikan yang berlangsung dapat mengembangkan dialektika kritis dan dinamis dari ketiga substansi potensi dasar kemanusiaan itu untuk bertumbuh menjadi indera-indera plus kemanusiaan yang memiliki rentangan kesadaran dan perasaan yang dapat terus berkembang meluas, sesuai dengan konteks tuntutan kebutuhan dari kompleksitas persoalan sosial kemasyarakatan yang mengelilinginya.
Sebagai contoh dari indera-indera plus yang perlu dididik itu, sebut misalnya: indera kemanusiaan (sense of humanity), indera ketuhanan (sense of (Godshipness), indera malu (sense of ashameness), indera hormat (sense of respect), indera jujur (sense of honesty), indera terpercaya (sense of trustworthy), indera tanggung-jawab (sense of responsilibilty), indera menghargai (sense of appreciativeness), indera bersih (sense of cleanliness), indera sosial (sense of altruism), indera memiliki (sense of belonging), indera kewarga-negaraan (sense of citizanship), indera hukum (sense of lawfulness), indera peri kehewanan dan tetumbuhan (sense of creatureness), indera kedaruratan (sense of crisis), indera damai (sense of peacefulness) dan seterusnya.
Semua indera plus yang berupa sisi-sisi ruhaniah manusia itu tentu dapat dijelaskan fungsi dan peruntukannya, untuk kemudian tertanam sebagai panggilan jiwa seorang yang terdidik, yang siap dan rela bertindak. Inilah sesungguhnya wilayah yang semestinya menjadi tanggung-jawab dunia pendidikan, di semua level (TK hingga PT) dan jenisnya (formal, informal dan non-formal). Tegasnya, pendidikan adalah proses ”humanisasi” yang mengarah ke pembentukan indera-indera plus kemanusiaan seperti disebut di atas, yang bersifat immateri dan abstrak. Sementara pengajaran adalah proses hominisasi yang mengarah ke pembentukan keterampilan dan keahlian menyangkut fisik-ragawi panca indera manusia, yang bersifat materi dan kongkrit.
Maka, dalam dialektika sintesis antara dua dimensi kemanusiaan itulah, lembaga sekolah harus dapat berproses, berperan-fungsi dan bertanggung-jawab secara optimal dan efektif. Jika tidak, bencana sosial adalah sebuah konsekuensi logis belaka, sebagaimana yang secara massif kini rasakan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibani, Omar Mohammad Al-Toumy, (terj.). (1979). Falsafah pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Darwin, Charles. (2003). The origin of spicies, by means of natural selection or preservation of favoured races in the struggle for life, (terj). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Emmerson, Donald K. (2001). Indonesia beyond Soeharto: Negara, ekonomi dan masyarakat transisi.Jakarta: Gramedia.
Eskobar, M, dkk. (1998). Dialog bareng Paulo Friere, sekolah kapitalisme licik. Jogjakarta: LKiS.
Friere, Paulo. (2002). Politik pendidikan: kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Gall, Meredith D. and Beatrice A. Ward. (1994). Critical issues in educational psychology. Boston and Toronto: Little Brown and Company.
Gardner, D.P. et al. (eds.). (1983). A nation at risk: The imperative for educational reform. Washington: Government Printing Office.
Johnson, Elaine B. (2002). Contextual teaching and learning. California: Corwin Press, Inc.
Kohli, Wendy. (1995). Critical conversations in philosophy of education. London, New York: Routledge.
Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam, interpretasi untuk aksi. Bandung: Mizan.
Martin, James. (2007). The meaning of the 21st century, A vital blueprint for ensuring our furture. London: Routledge.
Mestrovic, Stjepan G. (1993). The Barbarian temperament: toward a postmodern critical Future. London: Transworld Publishers.
Smart, Barry. (1992). Modern conditions, post modern controversies. London and New
Theory. London: Routledge.
Yacob, Teuku. (2004). Tragedi negara kesatuan kleptokratis, catatan di senja kala. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tulisan ini merupakan bagian dari artikel yang telah dimuat di Jurnal Progresi’; Journal of Multiperspective Education, Volume 2, Number 2, January 2011. Diterbitkan oleh Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh.