Bleibt Jung und Rebeliert.

Donnerstag, 31. Mai 2012

Unsur-Unsur Dalam Karya Sastra.






BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN

A.  Tinjauan Tentang Novel Tunjung Biru Karya Arti Purbani
1.  Pengertian Novel
Dalam arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas (Sumardjo, 1997 : 29). Ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula.
Istilah novel berasal dari bahasa Italia novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia yaitu novelet (Inggris:novelette) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek (Nurgiyantoro, 1998 : 10).
Novel merupakan salah satu dari prosa fiksi yang disebut juga karya fiksi yaitu kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin, 1987:66).


Seperti halnya karya fiksi yang lain, novel juga memiliki unsur pembangun, yaitu
(1). Unsur luas ( ektrinsik )
Unsur-unsur yang berada diluar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau system organisme karya sastra, walau demikian unsur ini cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang di hasilkan.
Unsur yang dimaksud antara lain keadaan subyektifitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup, dengan kata lain unsur beografi pengarang menjadi tolak ukur karya yang dihasilkan.
(2). Unsur dalam ( intrinsik )
Unsur-unsur yang membangun karya itu sendiri yaitu suatu unsur yang bermaksud untuk menyebut sebagian saja, misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan lain- lain.
Menurut Stanton  dalam Nurgiyantoro (2002: 25) membedakan unsur pembangun novel menjadi tiga bagian yaitu:
(1). Fakta
Kenyataan dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan setting.
(2). Tema
Sesuatu yang menjadi dasar cerita, yang sering disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.
(3). Sarana pengucapan sastra
Tehnik yang dipergunakan oleh pengarang untuk memilih dan meyusun detil-detil cerita ( peristiwa dan kejadian ) menjadi pola yang bermakna.
Macam-macamnya antara lain:
(a). Sudut Pandang penceritaan ( point of view ).
(b). Gaya ( bahasa ).
(c). Nada.
(d). Simbolisme.
(e). Ironi.
Ketiga unsure tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, dan terpisah satu sama yang lainnya.
Sedangkan unsur pokok yang terpenting dari novel terdiri atas:
(1). Tokoh utama
Merupakan pemeran ( pelaku ) utama cerita.
(2). Konflik utama
Permasalahan ( problem ) yang menimbulkan suatu cerita.

(3). Tema
Dasar dalam pembuatan cerita.   

2.  Novel Tunjung Biru Karya Arti Purbani
Novel “Tunjung Biru” ini merupakan salah satu novel Karya Arti Purbani yang diterbitkan Balai Pustaka dengan cetakan pertama tahun 1985. Dengan tokoh-tokoh penting dalam novel ini hampir seluruhnya bangsawan atau kalangan ningrat, bahkan meningkat sampai ke kalangan istana.
Kehidupan istana dan kaum bangsawan itulah yang melatarbelakangi novel Tunjung Biru ini yang dipaparkan dengan bahasa lembut serta memukau dan diperkaya dengan penampilan unsur-unsur budaya yang mempesona.
Dalam jalinan cerita yang makin lama makin mengasikkan, pengetahuan pembaca akan bertambah dengan mengenal adat tatacara perkawinan putra-putri bangsawan, lengkap dengan jenis pakaian yang dikenakan serta pertunjukan yang disajikan. Dengan demikian novel ini disebut novel budaya, karena dalam novel ini memperkenalkan kekayaan khasanah budaya masa lampau kepada generasi mendatang dalam jalinan cerita yang menawan.
3.  Biografi Pengarang
Arti Purbani yang mempunyai nama lengkap Bondoro raden Ayu Pratini Djajadiningrat, dilahirkan di solo, 14 agustus 1902, berpendidikan Eerste Europeesche Lagere School. Kemudian mendapat pendidikan dibidang kebudayaan dan sastra jawa di rumah, astana Mangkunegara, Surakarta.
Setelah menikah dengan Doktor raden Hoesein djajadiningrat, 9 Januari 1921 pindah ke Jakarta.
Seperti dijelaskan pada sampul belakang Novel Tunjung Biru Karya Arti Purbani, karya-karyanya adalah (1). Widyawati (Balai Pustaka 1949), yang sampai sekarang telah mengalami empat kali cetak ulang, (2).Hasta Cerita (PT. Pembangunan), (3). Sepasar dan Satu Malam (Balai Pustaka 1971, 1974, 1975), (4). Ande-Ande Lumut (Balai Pustaka yang sudah habis terjual). Selain manulis juga merancang perhiasan dari bahan-bahan antik dijadikan perhiasan modern.  
  
B.  Stilistika
1.   Pengertian
Lecch & Short dalam Nurgiyantoro menjelaskan bahwa stilistika (stylistics) menyaran pada pengertian studi tentang stile (gaya bahasa), kajian terhadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat dalam karya sastra, dan bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistic untuk memperoleh efek khusus (1998;279).
Wellek dan warren menjelaskan bahwa manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis, membatasi lingkup bidang ini khusus untuk karya satra dan kelompok karya satra yang dapat diuraikan fungsi dan makna estetisnya, stilistika akan menjadi penting, karena hanya metode stilistika yang dapat menjabarkan ciri-ciri khusus karya sastra (1995:225).
2.  Unsur-Unsur Stilistika
Unsur-unsur stilistika terdiri dari (a). fonologi, misalnya pola suara ucapan dan irama,(b). sintaksis, misalnya jenis struktur kalimat, (c). leksikal, misalnya penggunaan kata abstrak atau kongkret, frekuensi penggunaan kata benda, kerja, sifat, dan (d). retorika berupa karakteristik penggunaan bahasa figurative, misalnya bentuk-bentuk pemajasan, penyiasatan struktur, dan pencitraan (Nurgiyantoro, 1998:280).
(1).  Unsur Fonologi
Unsur fonogi yang dimaksud mengacu pada penggunaan pola suara ucapan dan irama (aliterasi, irama, dan efek bunya) yang sengaja dipilih oleh pengarang. Unsur fonologi dalam stilistika fiksi kurang begitu penting kontribusinya karena frekuensi pemakaiannya dalam karya fiksi sangat sedikit, unsur fonologi ini lebih penting untuk stilistika puisi.
(2).  Unsur Sintaksis
Unsur sintaksis yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat. Dalam kegiatan komunikasi bahasa, jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan bermakna daripada sekedar kata walaupun kegayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan katanya.
Unsur stile yang berwujud penyimpangan struktur kalimat biasanya berupa: pembalikan, pemendekatan, pengulangan, penghilangan unsure tertentu, dan lain-lain.

(3).   Unsur Leksikal
Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi, yaitu yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang.
Masalah pemilihan kata, menurut Chapman dalam Nurgiyantoro (1994:290), dapat melalui pertimbangan-pertimbangan formal tertentu. Pertama, pertimbangan fonologis, misalnya untuk kepentingan aliterasi, irama, dan efek bunyi tertentu. Kedua, pertimbangan dari segi mode, bentuk, dan makna yang dipergunakan sebagai sarana mengkonsentrasikan gagasan.
(4).   Unsur Retorika
Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Ia dapat diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya.
Unsur stile yang berwujud retorika ebagaimana yang dikemukakan Abram dalam Nurgiyantoro (1994:296) meliputi (1). Pemajasan (bahasa figurative), (2). Penyiasatan Struktur, dan            (3). Wujud pencitraan (imageri).

(a)Pemajasan (Bahasa Figuratif)
Pemajasan (bahasa figurative) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi ia merupakan gaya yang mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.
Memahami pengungkapan-pengungkapan bahasa kias,  kadang-kadang, memerlukan perhatian tersendiri, khususnya untuk menagkap pesan apa sesungguhnya yang dimaksud oleh pengarang. Penggunaan bentuk-bentuk kiasan dalam kesastraan, dengan demikian, merupakan salah satu bentuk penyimpangan kebahasaan, yaitu penyimpangan makna.
Bentuk-bentuk pemajasan yang banyak dipergunakan pengarang adalah perbandingan atau persamaan, yaitu membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain melalui ciri-ciri kesamaan antara keduanya, misalnya yang berupa ciri fisik, sifat, sikap, keadaan, suasana, tingkah laku, dan sebagainya. Bentuk perbandingan tersebut dilihat dari sifat kelangsungan perbandingan persamannya dapat dibedakan ke dalam bentuk simile, metafora, dan personifikasi (Nurgiyantoro, 1994:298).
Simile menyaran pada adanya perbandingan yang langsung dan eksplisit, dengan mempergunakan kata-kata tugas tertentu sebagai penanda keeksplisitan seperti: seperti, bagai, bagaikan, sebagai, laksana, mirip, dan sebagainya. Misalnya, bentuk pengungkapan yang berbunyi: “Di hadapan mereka Dukuh Paruk kelihatan remang seperti seekor kerbau besar yang sedang lelap”.
Metafora, dipihak lain, merupakan gaya perbandingan yang bersifat tidak langsung dan implicit.Hubungansesuatu yang dinyatakan pertama dengan yang kedua hanya bersifat sugestif, tidak ada kata-kata penunjuk perbandingan eksplisit. Misalnya, “Di hadapan mereka, Dukuh Paruk yang remang adalah seekor kerbau besar sedang lelap”.
Personifikasi merupakan gaya bahasa yang memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat-sifat seperti yang dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya manusia. Jadi, dalam personifikasi terdapat persamaan sifat antara benda mati dengan sifat-sifat manusia. Misalnya, “Bulan tersenyum, bintang pun berkedap-kedip menyaksikan dua remaja yang sedang berikrar janji”.
Gaya pemajasan atau bahasa kiasan lain yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya dibanding metafora, perbandingan, dan personifikasi ialah metonimia, sinekdoke, hiperbola, dan paradoks.
Metonimi dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Alternbernd dalam Pradopo, 1993:77). Misalnya, seseorang suka membaca karya-karya Ahmad Tohari kemudian dikatakan: “Ia suka membaca Tohari”.
Sinekdoke adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri (Alternbernd dalam Pradopo, 1993:78). Sinekdokeini merupakan gaya yang juga tergolong gaya pertautan, mempergunakan sebagian untuk menyatakan keseluruhannya, atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Misalnya “Kujelajahi bumi dan alis kekasih”, kata “bumi” merupakan keseluruhan untuk sebagian dan kata “alis kekasih” merupakan sebagian untuk keseluruhan.
Hiperbola, dipihak lain, merupakan suatu cara penuturan yang bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkannya. Misalnya, ungkapan Tohari dalam Dukuh Paruk “memiliki kebodohan langgeng” adalah sebuah penuturan yang mengandung unsur berlebihan.
Gaya bahasa paradoks, merupakan kebalikan dari hiperbola, adalah cara penekanan penuturan yang sengaja manampilkan unsur pertentangan di dalamnya. Misalnya, “Ia merasa kesepian di tengah berjubelnya manusia metropolitan” adalah sebuah penuturan yang mengandung unsur pertentangan itu.
(b)Penyiasatan Struktur
Sama halnya dengan pemajasan yang dipandang orang sebagai salah satu bentuk stile, pendayagunaan struktur kalimat pun menghasilkan satu bentuk stile yang lain.
Dalam kaitannya dengantujuan untuk mencapai efek retoris sebuah pengungkapan, peranan penyiasatan struktur tampaknya lebih menonjol daripada pemajasan. Pemajasan disampaikan melalui struktur yang bervariasi, struktur yang disiasati, sebaliknya, bangunan struktur kalimat pun dapat untuk menekankan penyampaian pesan, baik yang bersifat langsung maupun kiasan.
Ada bermacam gaya bahasa yang terlahir dari penyiasatan struktur kalimat. Salah satu gaya yang banyak dipergunakan orang adalah yang berangkat dari bentuk pengulangan, baik yang berupapengulangan kata, bentukan kata, frase, kalimat, maupun bentuk-bentuk yang lain, misalnya gaya repetisi, paralelisme, anaphora, polisindenton, dan alisendenton, sedangkan bentuk-bentuk yang lain misalnya antitesis, alitrasi, klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris.
Repetisi dan anafora merupakan dua bentuk gaya pengulangan dengan menampilkan pengulangan kata atau kelompok kata yang sama. Misalnya, dalam penuturan yang berbunyi: “Rasus, dalam hati, menyayangkan Srintil, menyayangkan warga Dukuh Paruk, puaknya, menyayangkan sikap mereka yang memandang moral hanya dari dunianya sendiri yang sempit”. Sedangkan anafora, dipihak lain, menampilkan pengulangan kata (-kata) pada awal beberapa kalimat yang berurutan. Jadi, anaphora terjadi paling tidak dalam dua buah kalimat. Pengulangan anaforis dapat memberikan tekanan dan menunjang kesimetrisan struktur kalimat yang ditampilkan. Misalnya, “Tak ada yang memerlukan kita lagi, tak ada yang memanggil kembali”.
Paralelisme, di pihak lain, menyaran pada penggunaan bagian-bagian kalimat yang mempunyai kesamaan struktur gramatikal (dan menduduki fungsi yang sama pula) secara berurutan. Bentuk-bentuk gramatikal yang paralel itu sendiri dapat berupa struktur kata, frase, ataupun kalimat, bahkan juga alenia. Misalnya, bentuk awalan di- pada contoh kalimat berikut: “Di antara sejumlah warga itu terpaksa ada yang dipilih, dibatasi, bahkan adakalanya ditolak untuk diterima sebagai anggota”. Kemudian bentuk frase atributif pada contoh kalimat berikut: “Perjuangan kemanusiaan adalah perjuangan menegakkan martabat dan meningkatkan derajat kehidupan”. Di pihak lain, paralelisme kalimat terjadi jika terdapat beberapa kalimat berturutan yang mempergunakan pola struktur yang sama, misalnya pola K (waktu) –S-P-O, atau pola-pola yang lain.
Antitesis, adalah gaya yang juga mempergunakan unsur paralelisme, namun justru dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang bertentangan. Misalnya, sebuah penuturan yang berbunyi: “Kita sudah kehilangan banyak kesempatan, harga diri, dan air mata, namun dari situ pula kita akan memperoleh pelajaran yang berharga”.
Polisindenton adalah berupa penggunaan pengulangan kata tugas tertentu, misalnya kata “dan”, sedangkan pada asindenton bentuk pengulangan yang berupa penggunaan pungtuasi yang berupa “tanda koma”.
Penggunaan bentuk alitrasi dalam karya sastra tampaknya juga dapat dikaitkan dengan bentuk pengulangan. Bentuk penuturan alitrasi adalah penggunaan kata-kata yang sengaja di pilih karena memiliki kesamaan konsonan, baik yang berada di awal maupun di tengah kata. Penggunaan alitrasi terlihat intensif pada karya puisi. Misalnya perulangan konsonan /n/ pada contoh “Pohon kehilangan daun”.
Bentuk penyiasatan struktur yang lain adalah gaya klimaks dan antiklimaks. Kedua bentuk itu dimaksudkan mengungkapkan dan menekankan gagasan dengan cara menampilkan secara berurutan. Pada gaya klimaks, urutan penyampaian itu menunjukkan semakin meningkatnya kadar pentingnya gagasan itu, sedang pada antiklimaks bersifat sebaliknya, semakin mengendur.
Gaya yang berupa pernyataan retoris adalah gaya yang benyak dimanfaatkan oleh para narrator yang menekankan pengungkapan dengan manampilkan semacam pertanyaan yang sebenarnya tak menghendaki jawaban. “Pertanyaan-pertanyaan” yang dikemukakan itu telah dilandasi oleh asumsi bahwa hanya terdapat satu jawaban yang mungkin, di samping penutur juga mengasumsikan bahwa pembaca (pendengar) telah mengetahui jawabannya.
(c).  Pencitraan
Melalui ungkapan-ungkapan bahasa tertentu yang ditampilkan dalam karya sastra, kita sering merasakan indera ikut terangsang: seolah-olah ikut melihat atau mendengar apa yang dilukiskan dalam karya tersebut. Tentu saja kita tidak melihat dan mendengar secara imajinasi. Penggunaan kata-kata dan ungkapan yang mampu membangkitkan tanggapan indera yang demikian dalam karya sastra disebut sebagai pencitraan.
Macam-macam pencitraan menurut Abram dalam Nurgiyantoro (1994:304) meliputi kelima jenis indera manusia: (a). citra penglihatan (visual), (b). citra pendengaran (auditoris), (c). citra gerakan (kinestetik), (d). rabaan (taktil termal), (e). dan penciuman (olfaktori).
Citra penglihatan (visual) adalah jenis yang paling sering dipergunakan oleh penulis dibandingkan dengan pencitraan yang lain. Citra penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak dilihat jadi seolah-olah terlihat. Misalnya “serupa dara di balik tirai”’ “Sambal tomat pada mata, meleleh air racun dosa”.
Citra pendengaran (auditoris) dihasilkan dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara. Citra pendengaran ini ini juga banyak dipakai oleh penulis, misalnya: “Ruang diributi jerit dada”, “Hanya selagu sepanjang dendang”.
Citra gerakan (kinestetik) menggambarkan sesuatu yang sesunggahnya tidak bergerak, tetapi dilukiskan dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citra gerak ini membuat hidup dan gambaran jadi dinamis, misalnya “Pohon-pohon cemara menyerbu kampong-kampung”, “Di atas laut, bulan perak bergetar”.
Citra rabaan (tektil termal) banyak dipakai oleh penulis untuk membuat karyanya lebih hidup, misalnya “Kukumu tajam, tikamkan dalam-dalam ke kulitku”.
Demikian halnya dengan citra penciuman (olfakori) yang sering juga disebut dengan citra pencecapan dipergunakan penulis menghiasi karya-karyanya, seperti “Tubuhmu menguapkan bau tanah”, “Neraka adalah rasa pahit di mulut waktu bangun pagi”.

© Die Rosarote Brille, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena