******
Pembahasan tentang perempuan dan bahasanya atau masalah bahasa dan
perempuan biasanya mengarah pada pemaparan perbedaan (cara) berbahasa antara
perempuan dan laki-laki. Di beberapa negara maju, seperti Prancis, Inggris,
Amerika, Jepang, dan Jerman, pembahasan masalah itu sudah lama menjadi
perhatian beberapa linguis dan telah dilakukan sejak tahun 1920-an. Misalnya, pada tahun 1922, Otto Jespersen
menulis sebuah buku dengan judul Language: Its Nature, Development, and
Origin. Dalam salah
satu bab buku itu, Jespersen khusus membahas bahasa perempuan. Ia memberikan
pendapatnya bahwa perempuan agak malu-malu jika menyebut bagian anggota tubuh
mereka dengan cara terang-terangan, tidak seperti laki-laki (muda) yang lebih
suka menyebutnya tanpa aling-aling. Jespersen juga menyinggung bahwa bahasa
yang digunakan oleh perempuan lebih kerap menggunakan kata sifat apabila
dibandingkan dengan bahasa yang digunakan laki-laki. Misalnya, perempuan sering
menggunakan adorable, charming, sweet, ataulovely dibandingkan dengan kata yang netral, seperti great,
terrific, cool, atau neat.
Penelitian yang memusatkan kajian pada hubungan
antara bahasa dan gender dipelopori oleh Robin Tolmach Lakoff. Di dalam
bukunya Language and Women’s Place (1975), ia mengemukakan teori tentang keberadaan
bahasa perempuan. Lakoff menyatakan bahwa terdapat banyak hal yang mendasari
munculnya perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam berbahasa. Digambarkan
bahwa bahasa laki-laki lebih tegas, matang, dan laki-laki suka berbicara
terang-terangan dengan kosakata yang tepat. Namun, bahasa yang digunakan oleh
perempuan tidak tegas, tidak secara terang-terangan (menggunakan kata-kata
kiasan), dan berhati-hati ketika mengungkapkan sesuatu, serta kerap menggunakan
kata yang lebih halus dan sopan atau melalui isyarat (metapesan). Di samping
itu, menurut Lakoff, seorang perempuan jika merasa kurang yakin terhadap suatu
masalah, ia akan mempersoalkan kepada dirinya dan tidak mempunyai keyakinan
terhadap diri mereka sendiri. Oleh karena itu, banyak masalah yang timbul
berakhir dengan tanda tanya (Lakoff, 2004; Kuntjara, 2004:3—4).
Asumsi umum sudah menyiratkan bahwa perempuan
dan laki-laki memang berbeda dalam menggunakan bahasa karena dari segi seks
mereka berbeda. Para ahli linguistik pun sependapat bahwa perbedaan
karakteristik bahasa yang digunakan antara laki-laki dan perempuan dapat
diamati dan dibedakan. Hal yang diyakini itu tidak dapat diganggu gugat dalam
kehidupan masyarakat. Interseksualitas merupakan sebuah anomali dalam kehidupan
masyarakat. Bahwa laki-laki dan perempuan berbicara secara berbeda adalah
sangat alamiah (Coulmas, 2005:36).
Dalam khazanah sosiolinguistik, pada umumnya
pembahasan tentang perbedaan penggunaan bahasa antara perempuan dan laki-laki
ditumpukan pada konteks jaringan sosial dan maksud pembicara (speakers meaning). Maksud pembicara sangat ditentukan oleh
konteks, yaitu waktu, tempat, peristiwa, kelas, etnik, agama, lingkungan
sosial, ekonomi, politik, proses, keadaan, dan mitra tutur. Maksud pembicara
itu dapat disimak dari kosakata yang dipilihnya. Dalam bahasa Indonesia,
misalnya, kalimat yang berbunyi “Saya mau mengawini dia” atau “Saya akan
menceraikan dia” dapat
langsung ditentukan siapa yang diacu “saya” dan “dia”. ”Saya” dalam kalimat itu
pasti laki-laki dan ”dia” perempuan. Penentuan referen ”saya” seorang laki-laki
dan ”dia” itu perempuan karena dalam jaringan sosial masyarakat kita, yang
dapat dilekatkan dengan kata ”mengawini” dan ”menceraikan” adalah lelaki,
sedangkan perempuan hanya dapat ”dikawini” dan ”diceraikan”.
Jika kita melihat konteks struktur bahasa,
kalimat ”Rina mengawini Herman” atau ”Herman dicerai Rina” tidaklah salah,
sepanjang ada fungsi gramatikal subjek (S), predikat (P), dan objek (O). Namun,
bahasa bukan hanya masalah intrinsik struktur bahasa, melainkan juga masalah
ektrinsik-konteks budaya. Oleh karena itu, kalimat ”Herman mengawini
Rina” atau ”Rina diceraikan Herman” dianggap memenuhi kaidah struktur kalimat
dan konteks budaya. Selama budaya di Indonesia masih berideologi patriarki,
perempuan mustahil untuk dapat ”mengawini” dan ”menceraikan” laki-laki meskipun
perempuan lebih kaya, sangat berkuasa, atau berkedudukan dan berstatus lebih
tinggi daripada lelaki.
Seiring dengan banyaknya kajian hubungan antara bahasa dan jenis kelamin
atau gender sejak awal 1990-an, telah terjadi lonjakan baru yang menarik di
dalam pembahasan cara berbahasa perempuan dan laki-laki. Materi yang
dipersoalkan tidak lagi hanya menyangkut masalah linguistik, tetapi juga
psikologi. Tidak terhitung buku psikologi populer telah ditulis menggambarkan
laki-laki dan perempuan sebagai dua makhluk asing. Percakapan di antara keduanya sering menimbulkan
kesalahpahaman. Contoh buku yang sukses membicarakan hal itu, misalnya, buku
Deborah Tannen, You Just Don't Understand: Women and Men in Conversation dan buku John Gray, Men Are
from Mars, Women Are
from Venus. Dua buku tersebut menduduki daftar buku
pelarap (bestseller) di dunia.
Di dalam buku psikologi populer, seperti buku Tannen dan Gray, pada umumnya
pendapat yang dikemukakan hampir sama dengan yang dinyatakan Jespersen dan
Lakoff, yakni laki-laki dan perempuan berbeda secara fundamental dalam cara
mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Mereka seolah-olah
membangun proposisi "mitos Mars dan Venus". Semua versi dari mitos
itu membuat beberapa premis dasar atau semua klaim seperti berikut.
1.
Masalah bahasa dan komunikasi lebih
penting bagi perempuan daripada laki-laki karena perempuan lebih sering
berbicara daripada laki-laki.
2.
Perempuan lebih terampil secara verbal
dibandingkan dengan laki-laki.
3.
Tujuan laki-laki dalam menggunakan
bahasa cenderung tentang mendapatkan sesuatu, sedangkan perempuan cenderung
tentang membuat hubungan dengan orang lain. Laki-laki lebih banyak
berbicara tentang data dan fakta, sedangkan perempuan lebih banyak berbicara
tentang orang, perasaan, dan hubungan antarmanusia.
4.
Cara laki-laki menggunakan bahasa
bersifat kompetitif serta mencerminkan kepentingan umum mereka dalam memperoleh
dan mempertahankan status. Cara penggunaan bahasa perempuan adalah kooperatif,
mencerminkan preferensi mereka untuk kesetaraan dan keharmonisan.
5.
Perbedaan sering menyebabkan
"miskomunikasi" antara perempuan dan laki-laki; mereka terkadang
salah mengartikan niat masing-masing. Hal itu menyebabkan masalah
berinteraksi antara laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan premis dasar dan klaim tersebut, pendapat bahwa laki-laki dan
perempuan "berbicara dengan pilihan bahasa yang berbeda" telah
menjadi sebuah dogma. Namun, kebenarannya masih perlu dipertanyakan.
Kebenarannya harus diperlakukan seperti hipotesis untuk diselidiki atau sebagai
klaim yang harus disepakati. Ide bahwa laki-laki dan perempuan berbeda secara
fundamental dalam cara mereka menggunakan bahasa untuk berkomunikasi adalah
sebuah mitos dalam kehidupan sehari-hari: kepercayaan yang tersebar luas,
tetapi palsu. Sebagai contoh, tempat kerja call-center adalah sebuah
domain yang mengandung mitos tentang bahasa dan jenis kelamin dapat memiliki
efek merugikan, tetapi di sisi lain menguntungkan perempuan. Pekerja di tempat
itu melibatkan kontak langsung dengan pelanggan dan menuntut pekerja memiliki
kemampuan berkomunikasi yang baik. Banyak perusahaan berkeyakinan bahwa
perempuan cocok ditempatkan di call-center karena secara alami cara berbahasanya lebih berkualitas daripada laki-laki.
Salah satu hasil pemikiran semacam itu adalah bentuk diskriminasi.
Pelamar kerja laki-laki harus membuktikan bahwa mereka memiliki keterampilan
berkomunikasi, sedangkan perempuan hanya diasumsikan memiliki keterampilan
berkomunikasi. Dalam perekonomian saat ini, kesempatan bekerja di layanan
berbasis ”call center” mungkin bukan kabar baik bagi laki-laki.
Hal itu seharusnya mengingatkan kita bahwa hubungan antara jenis kelamin
tidak hanya tentang perbedaan kemampuan berbicara, tetapi juga tentang
kekuasaan (Thomas dan Wareing, 1999). Harapan lama bahwa perempuan akan
melayani dan merawat orang lain tidak berhubungan dengan posisi mereka sebagai
"makhluk kedua". Namun, dalam mitos Mars dan Venus, fakta bahwa kita
(masih) hidup dalam masyarakat yang didominasi laki-laki seperti pepatah ”gajah
di pelupuk mata tidak tampak, tungau di seberang lautan tampak”.
Pada tahun 2006, misalnya, sebuah buku ilmu pengetahuan populer karya
Louann Brizendine, The
Female Brain, menyatakan bahwa perempuan rata-rata
mengucapkan 20.000 kata sehari, sedangkan laki-laki rata-rata hanya mengucapkan
7.000. Banyak penelitian mutakhir yang pada akhirnya skeptis dengan mitos
itu. Salah satunya adalah Mark Liberman, seorang profesor fonetik yang telah
bekerja secara ekstensif dengan merekam pembicaraan. Pandangan skeptisnya
telah mendorong Liberman menyelidiki catatan kaki dari buku itu untuk mencari
tahu dari mana penulis telah mendapat angka itu. Apa yang ia temukan bukan
rujukan akademis, melainkan referensi dari buku pengembangan diri.
Setelah menelusuri kepustakaan populer, Liberman menemukan beberapa klaim
statistik yang bertentangan. Ia mengemukakan bahwa penulis yang berbeda
(dan kadang-kadang bahkan penulis yang sama dalam buku yang berbeda) memberikan
rata-rata kata yang diucapkan perempuan per hari sekitar 4.000 sampai dengan
25.000 kata. Dia menyimpulkan bahwa tidak seorang pun pernah melakukan
studi menghitung kata yang dihasilkan oleh sampel perempuan dan laki-laki dalam
satu hari. Klaim variabel tersebut merupakan dugaan murni mereka (Greene,
2011: 54—56).
Setelah Liberman menunjukkan hal itu dalam sebuah artikel koran, penulis The Female Brain mengakui bahwa klaimnya tidak didukung oleh bukti dan mengatakan akan
dihapus dari edisi mendatang. Namun, pendapat negatif sudah terbangun
bahwa perempuan bicara tiga kali lebih banyak daripada laki-laki. Berbagai
upaya untuk menghilangkan kesan itu sangat sulit, termasuk status mitos tentang
fakta itu.
Daftar Pustaka
Coulmas, Florian. 2005. Sociolinguistics,
The Study of Speakers’ Choices. New york: Cambridge University Press.
Duranti, Alessandro. 2001. The Key
Term in Language and Culture. Oxford: Blackwell. Publisher.
Greene, Robert Lane. 2011. You Are
What You Speak: Grammar Grouches, Language Laws, and the Politics of Identity. New York: Delacorte Press.
Holmes, Janet. 1992. An
Introduction to Sociolinguistics. London: Longman.
Jespersen, Otto. 1922. Language:
Its Nature, Development and Origin. New York: The MacMillan Company.
Kuntjara, Esther. 2004. Gender,
Bahasa dan Kekuasaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Lakoff, Robin Tolmach. 2004. Language
and Woman's Place: Text and Commentaries(edisi revisi dan diperluas; dieditori oleh Mary
Bucholtz). New York: Oxford University Press.
Tannen, Deborah. 1991. You Just
Don't Understand: Women and Men in Conversation. New York: Ballantine Books.
Thomas, Linda and Shân Wareing. 2003. Language,
Society, and Power. New York: Routledge.